Tingkat kepercayaan yang diperoleh suatu lembaga sangat terkait dengan tata kelola yang dikembangkan.
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Euis Amalia, mengatakan tata kelola yang baik akan berdampak positif bagi kepercayaan masyarakat, oleh karena itu implementasi tata kelola merupakan hal yang penting. Dalam penelitiannya yang bertajuk Implementasi Syariah Governance dalam Operasional BMT di Sumatera, Euis mengutarakan bagi baitul maal wat tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro (LKM) syariah, tata kelola yang baik dan kepatuhan syariah menjadi hal yang pokok dan strategis.
Dalam penelitian yang didukung pula oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tersebut, ada enam faktor syariah governance (tata kelola yang baik terhadap BMT sebagai LKM syariah), yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, fairness dan kepatuhan syariah, yang diteliti untuk melihat tingkat kontribusi masing-masing faktor terhadap syariah governance BMT. “Dari hasil analisis, faktor transparansi yang dominan mempengaruhi apakah BMT menerapkan syariah governance, lalu independensi dan kepatuhan syariah,” kata Euis dalam seminar hasil penelitian, Selasa (27/10).
Ia menambahkan pada umumnya prinsip syariah governance telah diterapkan di BMT. Namun, dalam beberapa aspek masih ada elemen-elemen dari setiap dimensi syariah governance yang perlu mendapat perhatian. “Misalnya aksesibilitas terhadap berbagai informasi terbatas baru untuk kalangan pengurus, belum seluruhnya penyebaran dilakukan melalui papan informasi atau website sehingga dapat diakses oleh mitra atau stakeholder terkait,” ungkap Euis. Baca: BMT di Sumatera Terhambat Permodalan
Selain itu, peraturan internal/kebijakan belum seluruhnya dimiliki dan dijalankan secara konsisten oleh BMT. Sementara, lanjut Euis, sebagian besar BMT juga belum memiliki mekanisme sistem perlindungan konsumen, sistem pengamanan data dan manajemen likuiditas. “OJK bisa mengambil hal ini, kalau untuk perlindungan konsumen peran OJK sangat penting,” cetus dia.
Di sisi kepatuhan syariah, Euis memaparkan masih ada pula beberapa BMT yang tidak memiliki dewan pengawas syariah (DPS) aktif atau pengurus belum memanfaatkan secara optimal peran DPS, seperti verifikasi dan validasi produk. “Malah ada yang bilang syariah itu nomor 10, yang terpenting adalah BMT memberi manfaat ke masyarakat,” tukas Euis.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Absindo Aries Muftie, pun mengatakan monitoring dan evaluasi (moneva) adalah kelemahan di BMT saat ini karena belum transparan. “Jadi kita tidak tahu apakah yang direncanakan betul atau tidak. Banyak BMT Indonesia yang perencanaan dan manajemen risikonya belum ada,” ujar Aries.