Dukungan permodalan menjadi isu penting bagi BMT-BMT di Sumatera.
Tingkat pertumbuhan baitul maal wat tamwil (BMT) di Indonesia tercatat antara 30-40 persen per tahun. Namun, perkembangan BMT masih terhambat oleh beberapa hal, seperti terbatasnya sumber daya manusia (SDM), permodalan, kebijakan, pendampingan, mitra usaha yang potensial, standar prosedur dan teknologi.
Khusus di Sumatera, BMT terutama menghadapi kendala permodalan. Hal tersebut diungkapkan oleh Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Euis Amalia, dalam Seminar Hasil Penelitian Lembaga Keuangan Mikro Syariah, saat memaparkan penelitian bertajuk Implementasi Syariah Governance dalam Operasional BMT di Sumatera, di Hotel Akmani, Selasa (27/10). Baca: Gandeng IDB, OJK Dirikan Pusat Pengembangan LKM
Ia mengatakan berbeda dengan kendala yang dihadapi BMT di Jawa yang terkait dengan SDM, BMT di Sumatera malah terkendala permodalan. “Bagi BMT di Jawa permodalan mungkin lebih mudah mengakses karena ada Absindo (Asosiasi BMT Seluruh Indonesia) dan lembaga lain, sementara di Sumatera masih mengalami kesulitan,” kata Euis.
Karena akses permodalan yang terbatas, permintaan masyarakat untuk pembiayaan pun juga sulit untuk terpenuhi. Di sisi lain, margin bagi hasil yang tinggi juga menjadi masalah bagi BMT ketika bermitra dengan bank syariah. Pasalnya, dengan demikian BMT harus melempar pembiayaan ke nasabah dengan margin yang lebih tinggi lagi.
Sementara, lanjut Euis, dukungan kebijakan pemerintah pusat pun masih lebih banyak memberikan pelatihan, sementara permodalan masih sedikit. Menurutnya, BMT sulit mendapat dana murah dari pemerintah karena mekanisme dan prosedur dari pemerintah sangat berbelit-belit. Baca: Bank Syariah Bisa Bersaing di MEA dengan Keberpihakan Pemerintah
“Apalagi kalau penyaluran dananya lewat perbankan, maka berlaku pula ketentuan perbankan untuk bisa dapat akses dana murah dari pemerintah. Maka dari itu, saya mengusulkan penguatan permodalan BMT karena 60 persen masih berkutat pada kesulitan akses permodalan,” jelas Euis.