Para pembicara dalam acara Public Expose dan Riset Publik Digital di Jakarta (9/9).

Indeks Kemaslahatan Publik Berdasarkan Persepsi, Partisipasi, Akseptabilitas Masyarakat

Guna membahas solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, Wellbeing Institute menggelar Public Expose dan Riset Publik Digital dengan tema “Pengukuran Indeks Kemaslahatan Publik (IKP) Berdasarkan Persepsi, Partisipasi, Akseptabilitas Masyarakat” di Gedung Perpusnas Indonesia, Medan Merdeka Selatan, Jakarta, kemarin, Senin (9/9).

Wellbeing Institute  menyelenggarakan acara ini bekerjasama dengan Pusat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Universitas Indonesia (P3M UI), Ikkesindo, Perpustakaan Nasional Republik Indonesiia dan  Universitas Nasional.

Menurut Ketua Panitia Public Expose dan Riset Publik Digital – Dr. Jadi Suryadi, kegiatan Riset Publik Digital ini sifatnya transparan, bukan berdasarkan pada pesanan.

“Basisnya adalah persepsi, partisipasi dan akseptabilitas masyarakat. Artinya, variabel yang digunakan bukanlah berdasarkan suka atau tidak suka tapi merupakan pengukuran atas penerimaan dan pengaplikasian di masyarakat,” ungkap Jadi Suryadi dalam momen ini.

Jadi Suryadi menjelaskan, untuk pilot project ini akan dilakukan survei untuk empat kajian.

“Indeks Kemaslahatan Publik untuk BPJS Kesehatan, Indeks Pola Hidup Sehat, Indeks Preferensi Pemilih dan IKP Pindah Ibukota,” papar Jadi.

Sistem survei, lanjut Jadi, akan dilakukan secara digital dan secara berkelanjutan. Sehingga akan mampu mencapai ke setiap lapisan masyarakat.

“Targetnya adalah seluruh populasi. Jadi bukan hanya berbentuk sampling yang tidak bisa mencerminkan persepsi, partisipasi dan akseptabilitas masyarakat,” paparnya.

Sementara itu Peneliti IKP Pola Hidup Sehat – drg. Sri Rahayu, PhD dalam public expose ini menjelaskan perbedaan IKP dengan survei yang ada.

“Survei yang sekarang menggelontorkan variabel-variabel yang diinginkan ke masyarakat. Atau hanya samping. Padahal sampling ini tidak mewakili populasi. Contohnya yang dilakukan Kemenkes, program bagus, tools ada, tapi tidak ada evaluasi. Kita lihat banyak kader kesehatan yang merokok disembarang tempat. Artinya mereka tahu program tapi tidak peduli.  Indeksnya dari 1-9 sesuai persepsi masyarakat, bahwa satu paling kecil dan sembilan paling besar. Pada tahap persepsi biasanya indeks akan besar, sementara pada partisipasi akan menurun indeksnya. Begitu juga di akseptabilitas,” papar Sri Rahayu.

Sri Rahayu lalu menjelaskan, bahwa untuk pilot project ini, daerah yang dipilih adalah Ibukota Indonesia, DKI Jakarta.

“Kita lakukan dahulu di Jakarta. Guna menunjukkan kepada institusi terkait metodologi yang dilakukan dan dampaknya,” jelas Sri Rahayu.

Menurut Sri Rahayu, untuk IKP Pola Hidup Sehat, akan membahas terkait program kesehatan pemerintah yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan.

“Semua orang tahu pola hidup sehat itu apa. Sehingga, biasanya pada persepsi persentasenya akan tinggi. Tapi saat memasuki partisipasi, indeksnya akan menurun jauh. Karena mereka tahu tapi tidak mau terlibat. Dan biasanya akseptabilitasnya juga rendah,” papar Sri Rahayu panjang lebar.

Sri Rahayu lalu menyampaikan, bahwa harapannya dengan adanya survei yang menggunakan metodologi wellbeing ini akan menjadi dasar bagi para institusi untuk menciptakan suatu kebijakan yang benar-benar mengakomodir kemaslahatan masyarakat.

“Jadi bukan pesanan dari institusi,” demikian jelas Sri Rahayu.