Direktur Eksekutif AASI - Erwin Noekman

AASI: “Industri Asuransi Syariah Masih Sustainable”

Industri Asuransi Syariah di Indonesia per bulan November 2020 secara keseluruhan menunjukkan pertumbuhan kontribusi yang positif dan secara statistik, kondisi industri asuransi syariah masih sustainable. Hal  tersebut diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) - Erwin Noekman  dalam acara Webinar Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) bekerjasama dengan AASI di Jakarta, Selasa (3/2).

Untuk ke depan, kata Erwin Noekman, asuransi syariah Indonesia akan menghadapi beberapa tantangan, diantaranya adalah soal keterbukaan pasar, utamanya pasar regional, yang mana Indonesia sudah menyatakan keikutsertaannya dalam ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) yang merupakan bentuk kerjasama untuk mecapai integrasi ekonomi ASEAN di bidang jasa.

AFAS ini akan dibuka pada tanggal 1 Januari 2025. Yang pertama kali dibuka dalam kesepakatan tersebut, lanjut Erwin, adalah yang berkaitan dengan Asuransi Umum Syariah. ”Pada saat itu, semua pemain regional diperbolehkan memasarkan produk asuransi umum syariah secara langsung, walaupun mereka tidak memiliki cabang dan SDM perwakilan di Indonesia,” jelas Erwin.

”Ini merupakan sebuah tantangan buat industri asuransi syariah Indonesia. Tentu ada sisi positif dan sisi negatifnya. Tantangannya adalah bagaimana Indonesia dapat menaikkan rate-nya sebagai salah satu pemain regional yang dapat diperhitungkan. Dan sebaliknya dalam hal ini Indonesia juga bisa masuk ke pasar regional ini, bisa jualan di Malaysia, Brunei, Thailand, dan negara ASEAN lainnya,” ungkap Erwin.

Berkenaan dengan tenaga profesional di bidang perasuransian, Erwin juga mengungkapkan, bahwa nantinya juga akan ada Asean Insurance Diploma yang menyapakati standarisasi gelar kesarjanaan di bidang asuransi di negara-negara ASEAN.

Kemudian terkait Undang-undang Cipta Kerja. Bahwa pemerintah memiliki arah untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya, terutama bagi warga negara Indonesia. Namun sayangnya, lanjut Erwin, dalam Undang-undang Cipta Kerja ini, dari 48 kata kunci asuransi tidak satupun yang ditujukan kepada asuransi syariah berdasarkan Undang-undang 40 tahun 2014, sehingga kalau dimaknai secara harfiah, maka kesempatan yang ada diberbagai sektor seperti penerbangan, transportasi, pertanian, pariwisata, dan lain sebagainya, sektor ini tidak akan terbuka untuk asuransi syariah.

”Penting juga untuk diperhatikan, ternyata dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut ada beberapa bagian manfaat atau klaim asuransi yang dikenakan pajak,” demikian tambah Erwin.