Tiga Fokus Utama BSM Capai Share Minimal 10% dari Induk

Bank Syariah Mandiri (BSM) menjadi bank syariah terbesar di tanah air kini. Namun, pangsa pasar asetnya masih di bawah 10 persen dari induknya Bank Mandiri. Apa langkah anak usaha bank BUMN ini untuk mendongkrak share-nya?

BSMDirektur Keuangan dan Strategi Bank Syariah Mandiri (BSM), Agus Dwi Handaya, menyatakan ada tiga hal fundamental yang menjadi fokus BSM untuk mencapai share minimal 10 persen dari induk, yaitu sumber daya manusia (SDM), teknologi informasi (TI) dan manajemen risiko. Di sisi penguatan SDM, lanjut Agus, yang paling penting adalah pengembangan kewirausahaan dan sense of business. Menurutnya, SDM perbankan syariah saat ini sedikit terlambat dibanding SDM di bank konvensional dalam melihat peluang bisnis, target pasar yang benar, dan membiayai yang sesuai size. “Jadi mengembangkan bisnis dengan memilih target pasar dan sektor yang benar,” tegasnya.

Hal lainnya terkait cross selling. Agus menuturkan SDM bank konvensional biasanya tidak menjual hanya satu produk ke nasabah, tetapi seluruh paket produk. “Kami ingin membangun capability orang seperti itu, sedapat mungkin lengkap dalam menawarkan produk,” ujarnya.

Di sisi TI, tambah Agus, perbankan syariah membutuhkan TI yang lebih kuat agar dapat mendukung data nasabah. “Kami tidak mungkin bisa memberi pelayanan yang cepat dan efisien kalau TI tidak bagus. Kenapa sekarang banyak yang mempertanyakan pelayanan di bank syariah kok lebih lambat dari konvensional? Itu sebagian besar karena memang fungsi dari TI,” papar Agus.

Setidaknya ada dua hal yang ditekankan pada pengembangan TI, yaitu TI yang bisa mem-backup pelayanan ke nasabah dan TI untuk semua jenis pelaporan akuntansi. Agus mengatakan TI harus di-upgrade paling tidak sama dengan konvensional, sehingga pelayanannya bisa lebih cepat, misalnya saat pembukaan rekening. Disamping itu perlu dukungan TI pula terhadap data nasabah agar SDM bank syariah paham tentang nasabah. “Selain itu, TI juga penting untuk semua jenis pelaporan akuntansi agar sesuai dengan aturan dan Basel III, jadi TI dikuatkan untuk back office dan pelayanannya,” jelas Agus.

Sementara, di sisi manajemen risiko, Agus tak menampik rasio pembiayaan bermasalah perbankan syariah saat ini lebih tinggi dari bank konvensional. Hal itu mengindikasikan bank syariah belum at par dengan bank konvensional. “Bagaimana caranya (agar at par)? Praktek di perbankan nasional untuk mitigasi risiko harus lebih agresif kita adopsi. Kita tidak bisa mengandalkan hanya dengan akad syariah risikonya kemudian terminimalisir otomatis. Akad syariah itu bagus tapi tetap kita yakinkan manajemen risikonya, bisa meyakinkan sesuai akad syariahnya dan sesuai dengan risiko bisnisnya. Contohnya akad murabahah manajemen risikonya harus bisa memastikan barangnya ada,” ujar Agus.

Hal lainnya di sisi manajemen risiko yang perlu diperkuat adalah proses monitoring. Jadi tidak hanya menyalurkan pembiayaan semata, namun juga memonitor dan membina nasabah. Agus mengakui perbankan syariah telah melakukan hal tersebut, namun belum optimal seperti di bank konvensional. “Karena euforia untuk tumbuh tinggi jadi lupa, itu yang mau kita disiplinkan di manajemen risikonya dan itu kembali lagi ke penguatan SDM,” cetus Agus.

Selain tiga fokus utama di atas, lanjut Agus, pihaknya juga bersinergi dengan Bank Mandiri untuk nasabah besar korporasi. “Kami nanti join dengan Bank Mandiri karena mereka punya expertise yang lebih bagus dan kuat, jadi seperti club deal, sindikasi. Itu akan mendorong pertumbuhan yang lebih bagus dan cepat, sementara core kita di segmen ritel,”  ujar Agus.

Ia pun menambahkan sinergi tak hanya dilakukan dengan Bank Mandiri, namun juga dengan Grup Mandiri mulai tahun ini. Agus menyontohkan sinergi dengan Mandiri Tunas Finance untuk pembiayaan kendaraan hingga Asuransi AXA Mandiri untuk penjualan produk asuransi syariah. “Jadi sekaligus satu grup. Itu sudah berjalan karena kebetulan Bank Mandiri sudah dalam proses selesai implementasi coprorate plan mereka untuk 2020. Kami sebagai anak juga membuat corporate plan yang menyesuaikan, misalnya dengan visi asetnya mencapai Rp 200-250 triliun pada 2020,” jelas Agus.