Produk investasi terikat di Indonesia dinilai masih sulit dikembangkan karena masih menghadapi kendala batas maksimum penyaluran kredit (BMPK).
Head of Product Development and Strategy Maybank Syariah Indonesia Habibullah mengatakan, produk berbasis mudharabah muqayyadah (investasi terikat) sebenarnya telah disebutkan dalam Kodifikasi Perbankan Syariah. Namun, menurut dia, implementasinya belum mendetail sehingga untuk pengembangan fitur produk perlu mengajukan izin lagi ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Produk kami juga sudah disetujui, cuma ada perubahan fitur yang kami harapkan supaya produk bisa jalan karena selama ini masih terkendala terkena BMPK, sementara sumber dana untuk investasi terikat ini tidak terbatas,” cetusnya saat ditemui, awal pekan ini.
Ia menambahkan dengan regulator menetapkan BMPK perbankan maksimal 20 persen dari modal membuat perbankan yang permodalannya sedikit akan terbatas untuk mengembangkan produk investasi terikat. Oleh karena itu, Maybank Syariah pun telah menyampaikan agar ada perubahan fitur produk pada mudharabah muqayyadah, yaitu tidak terkena BPMK.
“Mengapa? Karena risiko 99 persen ditanggung investor jadi kalau ada apa-apa dana investornya yang hilang, sedangkan yang dicatat bank di bukunya risikonya cuma 1 persen. Jadi kami harap ada pengecualian, seperti pembiayaan yang dijamin oleh jaminan tunai itu juga tidak kena BPMK,” jelas Habibullah.
Habibullah menambahkan jika perubahan fitur produk tersebut disetujui OJK, maka produk investasi terikat akan menjadi keunikan bagi bank syariah. Dana dari luar negeri pun bisa diinvestasikan untuk pengembangan ekonomi Indonesia. “Untuk tahun ini Maybank Syariah, di luar Maybank Syariah Indonesia, menargetkan minimal menghimpun dana berbasis mudharabah muqayyadah sebesar Rp 600 miliar,” pungkasnya.