Pengembangan infrastruktur keuangan syariah di Indonesia terlihat sangat berhati-hati. Justeru ini membuat pertumbuhannya lambat.
Masih minimnya infrastruktur keuangan syariah di Tanah Air ditengarai sebagai penyebab lambannya pertumbuhan keuangan syariah. Pertumbuhannya naik turun. Sehingga, masalah persaingan dapat membuat perbankan syariah mudah dihantam goncangan ekonomi, misalnya kredit macet meningkat.
”Artinya keuangan syariah belum terlalu kokoh untuk membuat sistem dengan segala macam tekanan,” kata Rhesa kepada MySharing, saat ditemui usai seminar bertajuk ”Bagaimana Keuangan Syariah Bisa Membantu Pengusaha,” kata Ketua LP3 Himpi Jaya Rhesa Yogaswara kepada MySharing di Paramadina Graduate School, Energy Tower Jakarta, Rabu (8/7).
Rhesa menyarankan agar regulator yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mengadopsi berbagai kondisi international terkait pengembangan keuangan syariah. Mengingat kata dia, banyaknya tekanan adalah datangnya dari international.
Pasar Belum Menerima
Namun demikian, ia juga melihat bahwa dari sisi pasar masih banyak yang belum menerima kehadiran keuangan syariah. ”Dari umatnya sendiri walaupun kita mayoritas Muslim, tapi belum cukup terbuka bahwa perbankan syariah itu menjadi sebuah pilihan yang menarik,” tegasnya.
Kenapa belum menjadi pilihan menarik? Menurutnya, mungkin karena fasilitas atau infrastrukturnya masih kurang. Seperti mesin ATM, kantor cabang dan sistem jaringan. Bahwasannya memang tidak dapat dipungkiri kalau umat merasa belum nyaman, dikarenakan ketika berkunjung ke daerah ada yang kesulitan mengambil uang dengan ATM bank syariah. Seperti yang dialami oleh ustadz Muhammad Faisol ketika pulang ke kampung halamannya di Jawa.
Syukurnya, kata Rhesa, dirinya tidak mengalami hal itu mengingat ia tidak pernah berkunjung ke kampung-kampung. Karena kesibukan kerjanya masih bergaung di ibukota Jakarta. ”Syariah itu lebih kenyamanan hati, tapi fiturnya plus minus saja. Saya merasakan karena saya nasabahnya,” ujarnya.
Edukasi Bersama
Selain fasilitas, lanjutnya, sosialisasi keuangan syariah juga harus lebih gencar dilakukan bisa lewat edukasi. Edukasi itu menurutnya, bukan tugas regulator saja, juga semua lini termasuk para praktisi lembaga keuangan syariah (LKS) dan lembaga terkait lainnya. Rhesa menyontohkan, Lembaga Pengembangan Pengusaha Potensial Himpunan Pengusaha Muda Indonesia DKI Jakarta (LP3 HIPMI Jaya) yang dipimpinnya juga membantu sosialisasi dan edukasi keuangan syariah. Contohnya, seminar hari itu, yang diadakan LP3 juga bagian dari sosialisasi dan edukasi langsung ke para pengusaha muda di lingkungan DKI Jakarta.
Apalagi tegasnya, banyak pengusaha muda Indonesia yang mengalami kesulitan dalam mengembangkan usaha. Kehadiran lembaga keuangan syariah menjadi solusi bagi mereka. ”Dalam kondisi perekonomian Indonesia yang kurang bergairah saat ini, dibutuhkan terobosan bantuan keuangan bagi para pengusaha muda. Bank atau lembaga keuangan syariah salah satu solusi bagi pengusaha muda,” ujar Rhesa.
Melihat besaran tantangannya, Rhesa menilai, edukasi juga sebaiknya lebih gencar melalui lembaga pendidikan yaitu dengan memasukkan kurikulum ekonomi syariah. Memangm sudah ada perguruan tinggi dan sekolah yang menerapkan ini, namun belum semua.
Terlalu Hati-hati
Namun demikian, menurutnya, yang terpenting dari pengembangan keuangan syariah adalah pemerintah dengan kebijakannya yang kreatif. Karena saat ini bisa dilihat dari infrastrukturnya saja pemerintah masih terlihat sangat hati-hati. Hal ini berbeda dengan Malaysia. Nah, “Saking kehatian-hatiannya itu membuat pertumbuhan keuangan syariah Indonesia menjadi lambat”, kata Rhesa.
Rhesa pun memahami langkah pemerintah yang kehatian-hatian tersebut. ”Mungkin pemerintah tidak mau Indonesia seliberal Malaysia, misalnya. Jadi ada maksud dibalik itu. Dan kalau ditarik benang merahnya, mungkin pemerintah belum punya strategic plan jangka panjangnya,” paparnya.
Dengan kebijakan pemerintah yang benar-benar mendukung pengembangan keuangan syariah Indonesia. Rhesa berharap Indonesia bisa menjadi kiblat keuangan syariah dunia.