Perbankan syariah harus terus mengali potensi ekonomi syariah. Khususnya dana wakaf yang diyakini dapat mendorong pertumbuhan keuangan syariah Indonesia.
Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Misbahul Ulum menuturkan, terlepas dari pengaruh ekonomi global, perbankan syariah Indonesia harus berbenah diri. Perbankan syariah harus lebih kreatif dan agersif mengali potensi-potensi ekonomi syariah yang belum digaraf.
“Dana-dana murah yang belum tergali itu banyak khususnya wakaf. Wakaf adalah asli produk ekonomi syariah yang sama sekali belum tergali secara optimal,.” Kata Misbahul kepada MySharing, ditemui di kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa (22/9).
Padahal menurut dia, dalam sejarah perkembangan Islam, wakaf itu punya peran yang sangat besar di perekonomian berbagai negara. Seperti di Turki dan Mesir bagaimana perkembangan ekonomi syariah begitu pesat yang ditopang oleh wakaf. Bahkan, pernah ada sejarah bahwasannya pemerintah Mesir pernah hutang terhadap Al-Azhar dari dana wakaf tersebut, ketika Mesir mengalami resesi ekonomi. “Nah, dana wakaf inilah yang belum kita gali secara optimal di Indonesia,” ujarnya.
Misbahul menghimbau pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar mendorong dana wakaf dengan memberikan regulasi. Namun demikian, kata dia, ketika regulasi itu sudah ada. Apakah regulasi itu bisa merangsang perkembangan wakaf? Itu juga harus dikaji kembali.
Pasalnya tegas dia, orang itu lebih suka mengembangkan zakat daripada pengembangkan wakaf. Ini dikarekakan dari intensif itu lebih besar. Kalau zakat menurut peraturan amil zakat, itu bisa langsung ambil seperlaman daripada dana pokok zakat. Itu untuk operasional, promosi dan sebagainya serta bisa dikembangkan oleh Badan Zakat atau Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Sedangkan kalau wakaf menurut peraturan pemerintah atau undang-undang, itu hanya dapat untuk pengelolaan nazhir wakaf mengambil sepersepuluh dari hasil wakaf. “Ini prosesnya juga lama, kemudian yang boleh diambil hanya sepersepuluh. Padahal kalau zakat itu 12 persen atau seperlapan dari pokok zakat. Jadi kreativitas itu yang harus digali. Gimana caranya harus duduk bareng bicarakan,” ujarnya.
Misbahul berharap ada sinergi antara pemerintah, OJK dan lembaga industri keuangan syariah dalam pengelolaan dana wakaf ini. Karena menurutnya, sebetulnya lembaga hiriyah atau charity dalam mencari dana itu sangat mudah, asalkan ada trust (kepercayaan).
“Membangun kepercayaan inilah yang harus dikedepankan. Lembaga zakat dan wakaf akan besar dan dana itu akan datang sendiri kok. Makanya ketika kita akan bentuk badan wakaf, itu sebetulnya masalah dana nomor sekian, tapi sekiranya bagaimana membangun trust itu yang kita sulit,” tegasnya.
Menurutnya, dalam pengelola dana wakaf, seyogyanya tak hanya memikirkan funding, tapi juga happy landing. Sehingga masyarakat punya bukti kalau wakaf itu banyak manfaatnya. “Oh ternyata gedung ini hasilnya besar ya. Itu orang tidak akan mikir-mikir lagi, berapa sih Rp 5000-Rp 10000 ribu setiap bulan disisihkan, misalnya,” ujarnya.
Karena lanjutnya, kalau wakaf berkembang maka ekonomi syariah Indonesia akan tumbuh. Perbankan syariah juga terkait karena tidak mungkin dana wakaf disimpan di bank konvensional. Bahkan asuransi syariah juga akan berkembang pesat begitu juga dengan industri keuangan syariah lainnya.
Terkait dengan bank wakaf yang dibentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Misbahul mengatakan dirinya belum mengetahui secara detail proses pengelolaan dana wakafnya. Tapi menurutnya, ide pembentukan bank wakaf itu sangat bagus dalam upaya menumbuhkan ekonomi syariah.
“Memang ini kaya ayam dan telur antara trust dan dana wakaf itu. Tapi, intinya apapun itu namanya bank wakaf atau badan wakaf, kalau kepercayaan itu sudah tumbuh, dana akan mudah didapat dan dikelola sebagai entitas komersial bukan sebagai charity semata,” pungkasnya.