Profesor dari studi Timur Tengah dan Ekonomi, Politik dan Keuangan Syariah Universitas Durham Inggris, Mehmet Asutay, menilai Indonesia dapat menyaingi Timur Tengah dalam pengembangan keuangan syariah. Terbukti, Indonesia sukses pengembangkan Baitul Mal Wal Tamwil (BMT).
Mehmet menyampaikan, bahwa dirinya telah menganalisis bagaimana keuangan syariah berevokusi menjadi industri. Ia juga telah menyimpulkan ada empat model keuangan syariah, yaitu model Malaysia, model kawasan Teluk, model Indonesia dan model hybrid atau model Turki.“Buat saya terpenting dari keuangan syariah adalah dampaknya, prosesnya harus Islami, tapi dampak moralnya juga harus ada,” kata Mehmet, di Universitas Indonesia (UI) Depok, belum lama ini.
Menurutnya, berdasarkan riset, model yang paling signifikan dampaknya adalah model Indonesia. Karena model Indonesia, kata Mehmet, orang-orang yang dipinggiran yang berbank maupun tidak, bisa merasakan layanan keuangan syariah dari lembaga keuangan mikro seperti Baitul Mal Wal Tamwil (BMT). “Ada ribuan BMT di Indonesia, prosesnya pun mulai dari bawah,” ujar dia.
Bagian yang penting dari BMT, menurutnya, adalah pelibatan individu dalam komunitas sosial. Kegiatan harian individu ikut berdampak positif dan memungkinkan semua orang bisa terlibat dalam fasilitas pembiayaan mereka.
- Diskusi Inspiratif Rabu Hijrah: “Sinergi Pentahelik Ekonomi Syariah Mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045”
- Pleno KNEKS 2024: Ekonomi Syariah Kekuatan Baru Menuju Indonesia Emas 2045
- CIMB Niaga Syariah Resmikan Pembukaan Syariah Digital Branch di Medan
- Adira Finance Syariah, Danamon Syariah & Zurich Syariah Gelar FPR2024 di Rangkasbitung
Dengan kata lain, tegas dia, keuangan syariah juga soal ketertarikan dengan masyarakat. Model Indonesia punya itu, dan bisa memaksimalnya, individu diperdayakan dan dibangun kapasitasnya. Ini faktor penting untuk dipertimbangkan dalam industri keuangan syariah.
Lebih lanjut ia menuturkan, model keuangan syariah Indonesia berbeda sebab prosesnya dari bawah. Dukungan pemerintah baru muncul belakangan dengan tumbuhnya sejumlah bank syariah. Tapi yang menakjubkan adalah kekuatan masyarakat pinggiran sebagai alat pemberdayaan.
”Bagi saya kekhasan ini penting, karena saya mempertimbangkan keuangan syariah berbasis dampak. Perkembangan dampak itu penting karena itu model Indonesia penting,” tukasnya. .
Mehmed menyatakan, untuk negara-negara Arab yang baru melewati Arab Spring, dibanding berobseso mengIslamkan sistem perbankan, mereka bisa fokus pada nonbank seperti BMT di Indonesia. Sehingga mereka bisa memenuhi ekpektasi publik meruntuhkan rezim sebelumnya.
Karena menurutnya, dalam pembentukan keuangan syariah saat ini, ekspektasi itu yang ingin dipenuhi. Lembaga keuangan syariah nonbank bisa jadi obsi bank untuk memulai jika fokusnya pada pencapaian tujuan ekonomi syariah.
Jadi, menurut Mehmed, akar keuangan Islam di Indonesia adalah BMT. Namun demikian, lanjut dia, apa pun itu namanya, intinya ada pada komunitas sosial. Karena ketika kita melihat kesengajaan saat ini dalam pembangunan ekonomi, kita tidak lagi berususan dengan kondisi makro. Tapi yang terhubung langsung dengan individu. Dan referensinya pada penguatan hingga level individu sehingga mereka bisa berdaya dan lebih sejahtera.
“Kita berharap perbankan memenuhi itu. Tapi biar bagaimanapun bank adalah institusi komersial, sehingga ada jurang antara tujuan pembangunan ekonomi syariah dengan prosesnya. Sebab proyek-proyek pembangunan umumnya minim laba. Karena itu harus lihat bagaimana keuangan syariah berevolusi dengan memanfaatkan dana sosial,” pungkas Mehmet.