Jakarta potensial menjadi pusat ekonomi syariah.
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko widodo telah menyatakan keinginannya untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat ekonomi syariah global. Bank Indonesia (BI) pun menyambut hal tersebut dan menyatakan akan berupaya mewujudkan hal tersebut melalui beberapa inisiatif strategi.
Gubernur BI Agus Dw Martowardojo menuturkan, pihaknya melihat Jakarta potensial untuk menjadi pusat ekonomi keuangan syariah global seperti kota besar lainnya. “Kami lihat Jakarta seperti Bahrain, Abu Dhabi, Kuala Lumpur bahkan London sudah menjadi pusat-pusat ekonomi keuangan syariah dan tentu Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, kami lihat potensi itu,” ujarnya, Senin petang (24/7).
Industri keuangan syariah dan industri halal Indonesia di tingkat global sendiri sudah masuk dalam 10 besar. Oleh karena itu, BI akan mengupayakan agar Jakarta menjadi pusat ekonomi syariah dunia. “Kami ingin sampaikan bahwa produk-produk bank syariah akan dikembangkan,” cetus Agus.
- Diskusi Inspiratif Rabu Hijrah: “Sinergi Pentahelik Ekonomi Syariah Mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045”
- Pleno KNEKS 2024: Ekonomi Syariah Kekuatan Baru Menuju Indonesia Emas 2045
- DANA Berprestasi Di Tingkat Asia Pasifik
- Bank Saqu Berhasil Capai Hampir 2 Juta Nasabah melalui Layanan Perbankan Inovatif
BI pun telah menyiapkan sejumlah inisiatif strategi utama untuk mengembangkan usaha syariah. “Mulai UKM sampai usaha besar, hingga terkait dengan usaha pengembangan pendidikan syariah yang dilakukan lembaga pesantren atau lembaga pendidikan lainnya,” katanya.
Selain itu, jika dikaitkan dengan pendalaman pasar keuangan, pihaknya ingin agar instrumen pasar uang syariah dan investornya dapat semakin luas. Dengan begitu, keuangan syariah akan semakin dalam dan semakin besar hadir di sektor ekonomi syariah.
Di sisi lain, BI juga berupaya mengantisipasi agar jangan sampai neraca pembayaran Indonesia terganggu karena begitu banyaknya permintaan barang dan jasa berdasarkan syariah di Indonesia. “Jangan sampai kita tidak bisa menyiapkan, mensuplai dan memberi penawaran sehingga terjadi impor produk halal yang membuat tekanan pada akhirnya pada neraca pembayaran Indonesia,” pungkas Agus.