Menggagas Bank Syariah Nusantara

Oleh: Ahmad Ifham Sholihin

banksyariahBisnis perbankan secara nasional mengalami kinerja yang tidak menggembirakan, termasuk bisnis perbankan syariah. Penambahan total aset dan laba perbankan syariah mengalami perlambatan, pembiayaan bermasalah semakin meningkat, biaya operasional meningkat, dan pencapaian kinerja lainnya tidak bisa maksimal.

Berdasarkan statistik perbankan syariah periode Mei 2016, Bank Syariah yang terdiri dari 12 Bank Umum Syariah dan 22 Unit Usaha Syariah meraup total aset sebesar Rp.297,94 Triliun — hanya mengalami kenaikan aset sebesar Rp.1,67 Triliun dari periode Desember 2015.

Total pangsa pasar bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional juga masih cenderung stagnan di angka 5,3 persen (September 2016), padahal umur bank syariah sudah mencapai 25 tahun. Sebuah pencapaian yang serasa lambat dan membutuhkan upaya yang lebih serius lagi, apalagi jika menilik statistik perbankan selama periode 2005 – 2015, bank konvensional selalu konsisten mengalami penambahan aset di angka 12 – 38 kali lipat setiap tahunnya dibandingkan dengan bank syariah.

Sementara itu, total pembiayaan bermasalah juga masih di atas 5 persen, Return on Assets [ROA] hanya mencapai 0,16 persen, dan biaya operasional dibanding pendapatan operasional [BOPO] yang mencapai angka 99,04 persen. Hal ini berdampak signifikan pada kinerja dan efisiensi bank syariah secara keseluruhan, sehingga tidak mengherankan jika ada beberapa kantor layanan bank syariah yang ditutup.

Namun, segenap pegiat bank syariah harus tetap optimis, karena sistem perbankan syariah sejatinya memiliki nilai lebih yang tidak dimiliki oleh perbankan konvensional. Nilai lebih ini harus bisa dikomunikasikan dengan tepat agar bisa tersampaikan dengan akurat kepada masyarakat [pangsa pasar perbankan].

Menurut penelitian yang dilakukan oleh KARIM Business Consulting pada tahun 2002, selanjutnya dipertegas oleh Adiwarman Azwar Karim dan Adi Zakaria Afiff pada tahun 2006, menyatakan bahwa segmen pasar perbankan terdiri dari Sharia Loyalist [1 persen], Floating Market [74 persen] dan Conventional Loyalist [25 persen]. Hasil penelitian ini juga dijadikan rujukan oleh Hermawan Kartajaya (MarkPlus) dalam buku Syariah Marketing [2005], dan sampai saat ini belum ada yang merevisi penelitian tersebut.

Masing-masing segmen ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbankan syariah harus melakukan komunikasi dengan segmen pasar perbankan sesuai karakteristik segmen pasar yang dituju, jika ingin meraih pasar lebih luas lagi. Masih ada 94,7 persen pangsa pasar yang belum tergarap dengan baik oleh bank syariah.

Sudah saatnya bank syariah semakin meningkatkan ekspansi ke pasar mengambang [floating market] yang merupakan pasar emosional [emotional market] dan pasar konvensional [conventional loyalist] yang merupakan pasar rasional [rational market].

Segmentasi pasar perbankan ini tidak membedakan latar belakang agama, kecuali pasar Sharia Loyalist sebagai pasar spiritual khas agama Islam yang ternyata hanya sebesar 1 persen dari total pasar perbankan. Selebihnya, 99 persen pasar adalah pangsa pasar yang tidak lagi menonjolkan ciri-ciri dan cara-cara kampanye khas keagamaan.

Bank Syariah Nusantara

Cara komunikasi bank syariah dengan publik, seharusnya menaati hasil riset. Oleh karena itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam rangka meraih pasar mengambang dan pasar konvensional adalah menggunakan kampanye dengan cara, strategi dan konten rasional. Konten rasional ini bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat lintas agama, lintas suku, lintas golongan, serta dibarengi dengan sentuhan emosional bewujud layanan prima, baik dari sisi komunikasi maupun teknologi terkini seperti Financial Technology [FinTech].

Hal sederhana yang harus mulai dilakukan oleh pegiat bank syariah dalam rangka kampanye konten rasional adalah dengan menggunakan bahasa khas nusantara, yakni Bahasa Indonesia. Setelah melakukan kodifikasi produk dengan istilah-istilah dalam Bahasa Indonesia, selanjutnya bank syariah bisa merinci logika keunggulan semua operasional, produk dan layanannya dari sisi untung rugi, skema, dan risiko yang harus dihadapi oleh nasabah.

Ide ini disebut dengan Bank Syariah Nusantara, yakni mengembangkan sistem perbankan syariah khas nusantara, menggunakan Bahasa Indonesia sebagai pelengkap istilah Arab yang selama ini ada [bilingual], serta menggunakan kampanye-kampanye berbasis logika dagang yang rasional. Sehingga tidak lagi hanya sekedar menggunakan isu/bahasan halal haram sebagaimana cara-cara kampanye khas Sharia Loyalist yang pangsa pasarnya hanya 1 persen.

Ketika dicermati, semua regulasi terkait perbankan syariah baik dari Fatwa, Undang-undang Perbankan Syariah, Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah [PAPSI], Peraturan Bank Indonesia [PBI], Surat Edaran Bank Indonesia [SEBI], Peraturan Otoritas Jasa Keuangan [POJK], Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan [SE OJK], Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan [PSAK], serta semua regulasi internal bank syariah mengatur agar bank syariah melakukan transaksi dagang jika ingin mengambil keuntungan.

Hal ini bisa terlihat dengan mudah ketika semua istilah Arab dari produk bank syariah ini diterjemahkan menjadi istilah dalam Bahasa Indonesia. Murabahah diterjemahkan menjadi jual beli tegaskan untung, musyarakah diterjemahkan menjadi kongsi, mudharabah diterjemahkan menjadi investasi, ijarah diterjemahkan menjadi sewa menyewa, qardh diterjemahkan menjadi pinjaman, salam diterjemahkan menjadi jual beli pesanan.

Ketika penggunaan istilah dalam Bahasa Indonesia ini dibiasakan sebagai bahasa komunikasi internal praktisi bank syariah, hal ini bisa menyebabkan praktisi bank syariah bisa memahami produk dan operasional dengan lebih mudah.

Ketika penggunaan istilah dalam Bahasa Indonesia ini dibiasakan sebagai bahasa komunikasi praktisi dengan nasabah, hal ini bisa menyebabkan nasabah bisa memahami produk dan operasional dengan lebih mudah.

Jika dicermati, sebenarnya transaksi di perbankan syariah ini merupakan transaksi dagang biasa-biasa saja. Konsep dan praktiknya harus sesuai kaidah dagang.

Bank syariah harus menggunakan transaksi dagang tersebut jika ingin memperoleh hasil atau keuntungan. Ketika bank syariah menggunakan transaksi jenis pinjaman [qardh], maka tidak boleh mengambil keuntungan dari transaksi pinjaman tersebut.

Selanjutnya, penggunaan Bahasa Indonesia dan logika transaksi dagang ini menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan satu sama lain dalam konteks penerapannya di bumi Nusantara. Bank syariah harus membumi dengan ciri khas Nusantara.

Penggunaan istilah dagang ini juga bisa mempercepat pemahaman bahwa semua transaksi motif profit di bank syariah harus menggunakan skema dagang, operasional dagang, dan risiko dagang. Jika tidak demikian, maka berarti bank syariah tidak mematuhi aturan regulator atau otoritas.

Contoh sederhana transaksi KPR di bank konvensional, akadnya jelas kredit [pinjaman] yang Bahasa Arabnya adalah qardh, ditambah dengan bunga [faidah]. Nasabah tidak akan pernah mendapat kepastian jumlah total hutangnya. Selama ini nasabah menganggap ini wajar-wajar saja karena sudah menjadi kebiasaan lebih dari seabad bahwa hutang yang tidak tahu jumlah hutangnya adalah normal. Bahkan berani tanda tangan di depan notaris.

Bandingkan dengan KPR Syariah, bahwa tidak ada satupun akad di KPR Syariah yang menggunakan akad pinjaman. Salah satu akad yang digunakan adalah akad jual beli tegaskan untung. Nasabah bisa memperoleh kepastian jumlah total hutangnya, karena menggunakan akad jual beli harga pasti. Hutangnya sudah bisa dipastikan sejak awal dan tidak masuk akal jika ada tambahan hutang. Kemudian nasabah tanda tangan di depan notaris. Skema dan risikonya pasti sangat beda dengan KPR di bank konvensional.

Perhatikan contoh perbandingan transaksi KPR di bank konvensional dengan KPR di bank syariah di atas. Skemanya pasti beda, secara operasional bisa jadi ada yang sama, namun sebatas hal-hal yang memang masuk logika dagang. Risiko keduanya pasti sudah sangat jauh berbeda.

Demikianlah, penggunaan istilah dalam bahasa khas nusantara dan logika transaksi dagang ini menyebabkan bank syariah bisa mudah dipahami dan diterima oleh semua kalangan. Bahkan sejatinya, transaksi dagang memang tidak harus menggunakan Bahasa Arab, tidak harus menggunakan basmalah, tidak harus menggunakan salam. Sebagaimana layaknya dagang, aktivitas ini bisa dilakukan oleh siapapun, tidak memandang suku, agama, ras, dan antargolongan.

Tentu saja, penggunaan istilah dalam Bahasa Indonesia khas nusantara ini tidak perlu harus mengubah undang-undang perbankan syariah, namun cukup dengan melakukan kodifikasi istilah dalam Bahasa Indonesia, melakukan kampanye penggunaan istilah dalam Bahasa Indonesia serta logika dagang dalam semua lini komunikasi internal bank syariah maupun komunikasi eksternal bank syariah dengan publik.

Jika cara komunikasi khas Bank Syariah Nusantara ini bisa diakomodir dan dijalankan taat konsep, bukan tidak mungkin akan terjadi percepatan pencapaian pangsa pasar bank syariah mencapai 50 persen di tahun 2025.

Akhirnya, mari tidak untuk mengutuk gelap. Mari nyalakan cahaya walau sekedar lilin.

Ayo ke Bank Syariah. #iLoveiB

Mari bersama kompak gabung bersama kami dalam kampanye membumikan Bank Syariah di bumi Nusantara!