Prinsip Jual-Beli dalam Ekonomi Syariah

Prinsip jual beli dalam ekonomi syariah masuk dalam katagori uqud-al mu’awadat atau akad pertukaran barang hak milik antara kedua belah pihak.

akadsyariahJual beli menurut ekonomi syariah memiliki syarat, yaitu:

  1. Komoditas harus sudah dimiliki oleh penjual, itu artinya seseorang tidak dapat menjual sesuatu benda atau barang yang tidak di milikinya, sesuai hadist: “Janganlah kamu menjual ikan ikan yg masih berenang bebas di laut lepas, dan burung –burung yang masih terbang di udara”.
  2. Komoditas yang dimiliki haruslah barang/benda yang tidak dilarang untuk di konsumsi oleh prinsip syariah. Yang dilarang oleh syariah: darah, bangkai binatang, daging babi dan alkohol.
  3. Tidak ada unsur riba , Tidak ada unsur spekulasi/gharar,Tidak ada unsur judi/maisir
Al-Qur’an melarang keuntungan yang didapat dari pinjaman/hutang berupa riba. Click To Tweet

Riba
Al-Qur’an melarang keuntungan yang didapat dari pinjaman/hutang, yaitu riba. Pada jaman sebelum adanya Agama Islam, riba didapat dari pinjaman adalah sama dengan keuntungan yang di dapat dari transaksi jual beli (al-bay’). Dalam Al-Qur’an, surat al-Baqarah 2:275: “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal ALLAH telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

Iwad (counter value) adalah suatu karakter yang paling fundamental dari transaksi jual beli (al-bay’) yang halal dalam ekonomi syariah. Transaksi jual beli dalam ekonomi syariah adalah pertukaran suatu nilai (value) atau harga dengan nilai benda yang setimpal yang sudah termasuk dalam unsur iwad di dalam nya. Apa bila ada tambahan atau kenaikan harga jual yang tidak mengandung Iwad maka tersaksi jual beli tersebut masuk dalam catagory riba.

Karakter riba adalah ketidak adilan dalam bertransaksi di mana salah satu pihak diuntungkan sementara pihak yang lain menderita kerugian. Profit theory atau teori laba dari pada ekonomi syariah dibangun berdasarkan prinsip iwad, di mana keuntungan yang diperoleh dari transaksi jual-beli (al-bay’) harus terdapat tiga unsur, yaitu:

  1. Risiko (ghorm). Risiko adalah adanya kemungkinan kita menderita kerugian. Tidak ada satu pun transaksi jual-beli dalam Islam yang tidak berisiko, seperti risiko kepemilikan barang yang sering terjadi pada jaman sebelum dan sesudah Islam, di mana jual beli dilakukan dari satu kota ke kota yang lain (dengan kereta kuda/onta) yang berada di antara gurun-gurun pasir dan yang sudah jelas sangat ber resiko tinggi karena rawan akan kejadian kajadian seperti perampokan, kekurangan makanan dan minuman didalam perjalanan, unta atau kuda yang sakit dan mati, badai pasir dan bencana alam yang lainnya yang dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar.
  2. Kerja dan usaha (kasb), kerja keras dalam berusaha sangat di anjurkan dalam ekonomi syariah, seperti menambah pengetahuan tentang produk yang di jualnya adalah suatu nilai tambah (value addition) dalam transaksi jual-beli ini.
  3. Kewajiban dan tanggung jawab (daman), pembeli dalam transaksi jual beli di dalam transaksi ekonomi syariah, sudah seharusnya secara otomatis mendapatkan jaminan/garansi terhadap kerusakan barang yang di belinya. Pembeli di perbolehkan untuk memeriksa barang yang akan di belinya dan diberi jaminan untuk beberapa waktu untuk barang yang sudah di belinya, dan bila barang tersebut rusak yang masih dalam masa garansi, pembeli di izinkan untuk menukarnya atau mengembalikan kepada penjualnya dengan mendapat penggantian uang tunai atau mendapat diskon.

Pada transaksi pinjaman atau utang, interest yang didapat tidak terdapat iwad, karena tidak mengandung risiko, kalau kita meminjam uang di bank, kita harus menggadaikan properti kita sebagai jaminan, kalau kita tidak dapat membayar utang pada bank, dengan mudahnya bank dapat menyita dan menjualnya untuk menutupi utang kita. Bank meminjamkan uangnya pada kita, dan mendapat jaminan barang milik kita, sehingga pihak bank tidak menanggung risiko apa pun. Sementara itu kalau kita menitipkan uang kita pada Bank, kita tidak bisa meminta jaminan pada bank.

Walaupun kita percaya, bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya tidak memakai sistem riba di setiap transaksinya , tidak demikian dengan transaksi jual-beli (al-bay’). Banyak dari transaksi jual beli ini tidak mengandung unsur iwad. Misalnya, penjual menaikkan harga barang dengan harga yang sangat tinggi demi mendapat keuntungan yang banyak, yang nilainya jauh di bawah risiko, usaha dan tanggung jawabnya.

Namun dalam ekonomi syariah iwad sangat dianjurkan karena kalau tidak, transaksi jual beli yang kita lakukan masuk dalam katagori riba. Semua jenis transaksi di dalam ekonomi syariah sudah seharusnya terdapat unsur iwad.

Dalam syariah, iwad sangat dianjurkan agar jual beli yang kita lakukan tidak jadi riba Click To Tweet

Gharar
Gharar adalah ketidakpastian akan berbagai macam hal dalam sebuah transaksi syariah yang dapat membatalkan akad, salah satu contoh adalah ketika seseorang menjual ikan-ikan yang masih berenang bebas di laut lepas, di sini tidak pasti berapa jumlah ikan yang akan dijual, apakah ikan-ikan itu bisa ditangkap dan dikirim segera kepada pembeli, dan apakah harga sudah sesuai dengan banyaknya ikan yang akan di tangkap, menggunkan harga pasar, atau hanya perkiraan. Transaksi seperti ini haram hukumnya dalam prinsip ekonomi syariah.

Maisir
Maisir adalah zero-sum game atau sama dengan judi, yaitu ketika pembeli ditawarkan untuk membeli anak sapi yang masih dalam kandungan. Pembeli tidak akan pernah tahu anak sapi itu akan lahir hidup atau dalam keaadaan mati, maka transaksi ini hanya menguntungkan pihak penjual dimana anak sapi itu hidup atau mati penjual sudah mendapatkan uang hasil penjualan anak sapi tersebut. Transaksi ini juga haram hukumnya dalam prinsip ekonomi syariah.

Maisir adalah zero-sum game atau sama dengan judi Click To Tweet