Momentum merger bank syariah BUMN ini dianggap tepat, di tengah mulai berubahnya peta politik global untuk memperebutkan pengaruh negara-negara di kawasan Asia-Pasifik, termasuk Indonesia.
Menurut pakar ekonomi syariah – Adiwarman Karim, merger PT Bank BRIsyariah Tbk., PT Bank Syariah Mandiri, dan PT Bank BNI Syariah berkontribusi terhadap kebangkitan ekonomi syariah di Indonesia. Karena aksi ini dinilai akan memperbesar aset dan kekuatan perbankan syariah. Penggabungan usaha tiga bank ini digadang membuat total aset entitas baru nanti mencapai Rp214,6 triliun dengan modal inti lebih dari Rp20,4 triliun.
“Paling tidak pada 2021 itu ada 9 inisiatif di perbankan syariah yang sedang terjadi dan melibatkan 21 bank. Ada 3 bank milik pemerintah yang akan merger, sehingga aset mencapai Rp215 triliun-an. Ada juga yang sudah publik. Ada inisiatif-inisiatif lain yang akan terjadi. Jadi 2021 adalah tahun kebangkitan awal umat Islam di Indonesia, dan Insya Allah di dunia,” ujar Adiwarman dalam diskusi daring baru-baru ini di Jakarta.
Adiwarman mengungkapkan, perubahan peta geopolitik yang terjadi tahun depan dan melibatkan Amerika Serikat serta China akan membawa perubahan pada wajah politik Indonesia.
“Perubahan ini dipercaya turut mendorong kebangkitan perbankan syariah.
Kebangkitan perbankan syariah telah dinanti-nanti, sebab selama ini tingkat inklusi dan literasi keuangan syariah di Indonesia masih tergolong rendah jika dibanding negara-negara berpenduduk muslim besar lainnya,” jelas Adiwarman.
Buktinya, saat ini tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia berdasarkan Indeks Literasi Eksyar Nasional 2019 yang dirilis Bank Indonesia sebesar 16,3 persen atau dalam kategori well literate. Kemudian, tingkat inklusi keuangan syariah di Indonesia dari 11,1 persen pada 2016 menjadi 9,1 persen di 2019.
Sementara itu, Ketua Pemuda Dewan Masjid Indonesia (DMI) – Arief Rosyid mengatakan, merger bank syariah membuat masa depan industri keuangan syariah di Indonesia semakin terang. Dia menilai aksi korporasi ini seperti upaya membangunkan raksasa yang tertidur.
“Penggabungan ini seperti membangunkan raksasa yang sudah lama tidur, dan mudah-mudahan raksasa ini betul-betul bangun dan bisa menandingi raksasa-raksasa lain. Insya Allah kita bisa bersaing, begitu naik ke BUKU 4 kita bisa bersaing dengan bank-bank lain di seluruh dunia,” ujar Arief.
Dia berkata, industri perbankan syariah di Indonesia sebetulnya telah menerapkan sistem kerja bank 5.0 yang selama ini digadang baru akan terjadi di negara lain. Pandangan ini muncul karena Arief melihat bank syariah di Indonesia sudah banyak memanfaatkan teknologi untuk menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek bisnis.
“Kalau society 5.0 yang didorong oleh Perdana Menteri Jepang membahasakan bahwa, bagaimana teknologi digunakan untuk membantu atau menjadikan manusia benar-benar sebagai subjek, bukan objek. Di Indonesia, saat kita dorong nasabah untuk wakaf, membantu anak-anak kesulitan ketika pembelajaran jarak jauh, itu hanya kita kompori (masyarakat) via teknologi. Artinya, (budaya kerja bank) 5.0 sebenarnya sudah terjadi di bank-bank syariah di Indonesia dan ini akan menjadi sebuah kekuatan,” tuturnya.
Menurut Arief, selama ini kita larut dalam diferensiasi bank konvensional dan bank syariah. Padahal seharusnya lebih banyak menjual keuntungan apa yang bisa bank syariah tawarkan.
“Dengan teknologi untuk kemaslahatan inilah, dampak positif (dari layanan bank syariah) ada, tidak hanya untuk di dunia tapi juga di akhirat. Ini adalah peluang yang harus dimanfaatkan,” demikian tutup Arief.