Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) yang bergabung dalam Himpunan Penyelengara Haji dan Umrah (Himpuh) meminta bantuan perbankan syariah untuk memberikan solusi terkait regulasi Bank Indonesia (BI) yang mewajibkan transaksi jamaah haji dan umrah dalam nilai Rupiah.
Sekretaris Jenderal Himpuh, Muharom Ahmad mengaku ada keluhan dari anggota Himpuh terkait dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 tentang kewajiban penggunaan Rupiah di NKRI. Dan BI akan mengenakan sanksi denda hingga kurungan penjara jika melanggarnya.
Menurutnya, dengan dikeluarkan regulasi tersebut berarti mewajibkan penggunaan Rupiah dan pelarangan valuta asing (valas) untuk traksaksi jamaah haji dan umrah. Padahal selama ini sebagian besar transaksi perusahaan Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) itu menggunakan valas. Fluktuasi nilai tukar itu membuat sebagian besar PHU merugi. “Tidak semua PHU bisa mengelola nilai tukar, sehingga kami meminta bantuan perbankan syariah untuk mencari solusi,” kata Muharom, dalam dialog Perbankan Syariah dengan Travel Haji dan Umrah, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Muharom kembali menegaskan, bahwa semua pembayaran pelaksaaan umrah dan haji memakai valas. Sementara para jamaah membayar dalam mata uang rupiah. Dengan begitu, kata dia, saat dolar Amerika Serikat (AS) naik, maka konversi setoran jamaah tidak seperti harga paket, tapi di bawah itu.
”Jujur kami tidak mengetahui kondisi ini harus dihadapi seperti apa. Saat ini kami jalan saja, jurusnya tawakalalallah. Kami sangat berharap perbankan syariah memberikan solusi,” tukas Muharom.
Sejauh ini, lanjut dia, masalah PHU terutama saat pembayaran tiket pesawat. Di mana harga tiket yang berlaku adalah harga di hari pelunasan bukan saat pemesanan. Dengan demikian, harga pelunasan bisa lebih mahal. Apalagi maskapai penerbangan memberlakukan harga tiket dari patokan Asosiasi Transportasi Udara International (IATA). Selain mematok harga tiket pesawat dengan kurs atas, harga tiket acuan IATA dinaikkan lagi sebagai pengamanan atas risiko nilai tukar.
Banyak PHU Merugi
Muharom menjelaskan, dua bulan belakangan ini saja untuk paket umrah, PHU sudah banyak yang merugi. Terutama yang jumlah jamaahnya di bawah 200 orang. Belum lama ini, Himpuh telah menemui pejabat BI untuk mengajukan permohonan pengecualian atas kewajibab peraturan tersebut. Karena menurutnya, dari aspek syariah sangatlah jelas, ada unsur ketidakpastian jika setoran umrah dan haji harus dalam rupiah. ”Dalam syariah tidak boleh ada gharar atau jual beli akad mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kejelasan suatu barang baik dari sisi harga,” tegasnya.
[su_note note_color=”#fafafa” text_color=”#000″ radius=”5″]Click 2 Tweet: “Jamaah umrah menurun dalam dua tahun ini. Dari 70 ribu jamaah (2013) menjadi 640 ribu jamaah (2014)”[/su_note]
Sedangkan dari sisi operasional, lanjut dia, fluktuasi kurs membuat PHU merugi. ”Kalau mau aman, kami bisa saja naikkan harga paket perjalanan umrah, tapi dampaknya jumlah jamaah berkurang,” kata Muharom.
Menurutnya, dalam dua tahun terakhir saja, Himpuh mencatat ada penurunan jamaah umrah. Pada 2013 tercatat 70 ribu jamaah penerima visa umrah, dan tahun 2014 menurun menjadi 64o ribu jamaah. Dan sepanjang satu tahun 2015 ini ada sekitar 700 ribu jamaah umrah dengan biaya rata-rata perpaket antara 2.000-2.500 dolar AS. Jika dalam setahun ada 1 juta jamaah umrah, minimal terkumpul dana sebesar Rp 25 triliun dari paket umrah pertahun.