Fatwa dan regulasi telah ada, diharapkan industri tidak ragu untuk melakukan lindung nilai (hedging) syariah.

Namun demikian, menurut dia, meski jumlah perusahaan dan nasabah perbankan syariah meningkat pesat, tapi yang melakukan hedging masih sangat sedikit. Hendar menilai anggapan bahwa hedging melanggar prinsip-prinsip syariah adalah penyebabnya. Padahal BI telah mengatur skema hedging tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar syariah, yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE).
Hendar menjelaskan, tahun 2012-2015 dibahas bersama Working Group Perbankan Syariah dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Tanggal 2 April 2015 fatwa atas transkasi lindung nilai syariah (hedging syariah) atas nilai tukar diterbitkan. “Sekarang fatwa dan regulasi sudah ada, jadi harusnya tidak ada kekhawatiran lagi pada industri. Tentu dalam implementasinya akan berkembang isu yang perlu di bahas kemudian,” tegas Hendar.
Menurutnya, akad yang digunakan fasilitas hedging syariah adalah muwa’adah. Artinya transaksi lindung nilai syariah akan didahului oleh kontrak serah (forward agreement) untuk melakukan transaksi sport dalam jumlah tertentu di masa mendatang dengan nilai tukar yang telah disepekati sebelumnya.
Hedging syariah, lanjut dia, tidak boleh dilakukan untuk tujuan yang bersifat spekulatif sehingga wajib menyertakan aset jaminan (underlying). “Transaksi hedging syariah hanya boleh dilakukan untuk mengurangi risiko nilai tukar di masa mendatang terhadap mata uang asing yang dapat dihindarkan,” ungkapnya.
Hendar berharap hedging syariah akan mendukung pendalaman pasar keuangan syariah Indonesia sehingga mendorong penerbitan sukuk valas di masa mendatang. Pada akhirnya, pembiayaan syariah juga diharapkan dapat meningkat khususnya pada sektor-sektor produktif maupun proyek infrastruktur yan sedang digalakkan pemerintah.

