Ada empat solusi fikih yang menjadi landasan DSN MUI dalam menetapkan fatwa.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia. Diisi oleh ulama pilihan, DSN MUI membahas setiap fatwa dengan seksama. Seperti apa metode yang digunakan DSN MUI dalam menetapkan suatu fatwa?
Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin mengatakan, fatwa DSN MUI ditetapkan dan diputuskan dengan mekanisme dan tata cara yang tidak umum. Namun, tetap berdasarkan aturan dan metodologi penetapan fatwa yang diatur dalam syariah Islamiyah.
“Banyak dari fatwa-fatwa DSN-MUI yang mempergunakan Solusi Hukum Islam (makharij fiqhiyah) sebagai landasannya. Setidaknya ada empat solusi fikih yang dijadikan landasan dalam menetapkan fatwa DSN MUI yaitu al-Taysîr al-Manhaji, Tafriq al-Halal ‘An al-Haram, I’adah al-Nadhar, dan Tahqiq al-Manath,” papar Ma’ruf.
Ia memaparkan empat landasan tersebut dalam orasi ilmiah pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Ekonomi Muamalah Syariah dari UIN Maulana Malik Ibrahim, tengah pekan ini. Ma’ruf menyebutkan Al-Taysîr al-Manhaji dapat diartikan memilih pendapat yang ringan namun tetap sesuai aturan.
Meskipun mengambil pendapat yang lebih meringankan, namun tetap dalam koridor manhaj yang ada. Artinya, fatwa DSN-MUI akan memberikan jalan keluar dengan memberikan solusi terbaik selama tidak bertentangan dengan syariah. Namun demikian, penggunaan metode tersebut tidak boleh dilakukan secara berlebihan.
Metode Al-Taysîr al-Manhaji dimaksudkan agar menghindarkan fatwa disahkan tanpa mengikuti pedoman. Tidak jarang suatu masalah dijawab dengan fatwa yang meringankan namun hanya mempertimbangkan aspek kemaslahatannya saja dan tidak mengindahkan aspek kesesuaian metodologisnya. “Dalam pandangan kami, hal itu tidak boleh dilakukan karena berpotensi terperosok pada mencari-cari hal-hal yang ringan saja yang dilarang dalam syariah Islamiyah,” jelas Ma’ruf.
Kaidah berikutnya terkait dengan pemisahan antara harta halal dan non-halal. Ma’ruf menuturkan, harta atau uang dalam persepektif fikih bukanlah benda haram karena zatnya tapi haram karena cara memperolehnya yang tidak sesuai syariah, sehingga dapat untuk dipisahkan mana yang diperoleh dengan cara halal dan mana yang non halal. “Dana yang halal dapat diakui sebagai penghasilan sah, sedangkan dana non-halal harus dipisahkan dan dialokasikan untuk kepentingan umum,” ujarnya.
Kaidah berikutnya dalam upaya penerapan solusi fikih adalah i‘adah al-nazhar (telaah ulang). Salah satu caranya dengan menguji kembali pendapat yang mu’tamad dengan mempertimbangkan pendapat hukum yang selama ini dipandang lemah (marjuh bahkan mahjur) karena adanya ‘illah hukum yang baru dan/atau pendapat tersebut lebih membawa kemaslahatan. “Kemudian pendapat tersebut dijadikan pedoman (mu’tamad) dalam menetapkan hukum,” jelasnya.
Kaidah terakhir adalah tahqiq al-manath (Analisa Penentuan Alasan Hukum/’Illat). “Kaidah itu adalah analisa untuk mengetahui adanya alasan hukum (‘illah) lain dalam satu kasus, selain illat yang diketahui sebelumnya, baik melalui nash, ijma, ataupun istinbath,” pungkas Ma’ruf.

