Gadai syariah sempat menjadi primadona bisnis bank syariah.
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I Otoritas Jasa Keuangan Mulya Effendi Siregar mengatakan, tahun 2010-2013 merupakan masa kejayaan bank syariah. Kala itu perkembangan bank syariah begitu cepat, dengan pertumbuhan antara 30-35 persen. Salah satu yang mendongkrak pertumbuhan bank syariah tanah air adalah gadai syariah.
Namun pada 2012 silam, Bank Indonesia (BI) memperketat regulasi terkait gadai emas di perbankan syariah. Mulya mengutarakan, ketika itu pihaknya menyadari laju perbankan syariah sudah terlalu kencang. “Saya ingatkan kayaknya lari terlalu cepat, nanti kesandung. Akhirnya saya freeze kegiatan gadai syariah yang saya nilai sudah berisiko tinggi,” ungkapnya, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Perbankan Syariah BI.
Menurutnya, di masa itu sampai ada nasabah bank syariah yang menggadaikan emas sampai Rp 100 miliar dan menunggu hingga harga emas naik. “Kalau gadai seperti itu sudah mendekati ke arah spekulasi dan tidak pada tempatnya, padahal gadai itu digunakan untuk menghadapi situasi sulit,” jelas Mulya.
Akhirnya, lanjut Mulya, selama beberapa bulan kegiatan gadai di bank syariah melambat. Meski sempat mendapat pertanyaan dari sejumlah pihak, BI tetap kukuh. “Walaupun waktu itu banyak pimpinan negara yang telpon, tapi menurut saya ini larinya sudah kekencangan dan menyalahi prinsip syariah, maka kami evaluasi regulasinya,” kata dia.
Dalam Surat Edaran BI No 14/7/DPbS perihal Produk Qardh Beragun Emas bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, BI menetapkan setiap nasabah hanya boleh menggadai emas maksimal Rp 250 juta dengan jangka waktu 4 bulan dan dapat diperpanjang hanya dua kali. Financing to value ratio (FTV) gadai pun ditetapkan paling banyak 80 persen dari rata-rata harga jual emas 100 gram dan harga beli kembali emas PT Antam.
[bctt tweet=”Gadai seharusnya hanya digunakan untuk kepepet, bukan investasi apalagi spekulasi!” username=”my_sharing”]

