Dari sekian banyak UU yang mengalami perubahan, salah satunya adalah UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Utamanya dengan adanya perubahan dalam Pasal 87 UU 40 Tahun 2014 yang sebelumnya berbunyi:
Dalam hal Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi memiliki unit syariah dengan nilai Dana Tabarru’ dan dana investasi peserta telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya atau 10 (sepuluh) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini, Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi tersebut wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan reasuransi syariah.
Dengan UU Nomor 4 Tahun 2023, ketentuan pemisahan unit syariah berubah menjadi: Dalam hal perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi memiliki unit syariah, setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi dimaksud wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi perusahaan asuransi syariah atau perusahaan reasuransi syariah.
AASI mengucap syukur, bahwa UU Nomor 4 Tahun 2023 tetap menegaskan adanya kewajiban pemisahan unit syariah di perasuransian. Baik UU No. 40 tahun 2014 maupun UU No.4 tahun 2023, keduanya tetap mewajibkan adanya pemisahan unit syariah.
- PRUAnugerah Syariah, Inovasi Syariah Pertama di Indonesia Produk Perlindungan Jiwa Persiapan Warisan
- Bank Muamalat Bersinergi dengan Mega Insurance Upayakan Proteksi Asuransi Syariah
- Prudential Syariah Luncurkan PRUPrime Healthcare Plus Pro Syariah, Tawarkan Proteksi Hingga 70 Miliar
- Zurich Syariah Hadirkan Zurich Syariah Travel Insurance Paket Haji dan Umrah
Apabila dimaknai, sebagaimana isi Ayat 1 di atas, maka sebenarnya OJK sebelumnya telah mengatur tentang pemisahan unit syariah, yaitu POJK Nomor 67 Tahun 2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, utamanya dalam Pasal 17 Ayat 1, yang berbunyi:
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib melakukan Pemisahan Unit Syariah menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah apabila Dana Tabarru’ dan dana investasi peserta telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya atau 10 (sepuluh) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Dengan demikian, secara hukum hingga saat ini, kewajiban pemisahan Unit Syariah masih tetap berlaku dengan ketentuan, yaitu:
-Dana Tabarru’ dan dana investasi peserta telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya.
-10 (sepuluh) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yaitu tepatnya pada 17 Oktober 2024
Berkenaan dengan hal di atas, AASI mengingatkan kembali kepada seluruh Anggota AASI, utamanya yang masih berbentuk Unit Syariah, untuk patuh dan menjalankan ketentuan hukum yang masih berlaku, dan menjalankan semua program kerja sebagaimana penyampaian Rencana Kerja Pemisahan Unit Syariah (RKPUS) yang telah disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) masing-masing perusahaan.
Sekiranya terdapat perubahan dalam RKPUS tersebut, tentunya kami mengingatkan kepada seluruh Anggota untuk terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dalam RUPS, dan selanjutnya mengajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan (bila disetujui).
AASI, menyatakan kesiapan untuk membantu semua Unit Syariah, baik yang memutuskan untuk melakukan pendirian perusahaan baru hasil pemisahan Unit Syariah, maupun Unit Syariah yang akan melakukan pengalihan portofolionya kepada Perusahaan Asuransi Syariah lain.
Namun, kembali diingatkan bahwa ketentuan pemisahan Unit Syariah tetap berlaku. AASI melihat belum ada urgensi bagi OJK untuk melakukan perubahan atas Pasal 17 di POJK 67. Hal ini tentunya dapat terlihat dari intensi dan RKPUS yang telah disampaikan oleh Perusahaan kepada OJK. Dimana kami yakini, baik dilihat dari sisi jumlah asset maupun dari jumlah entitas, sebagian besar mengarah kepada pendirian perusahaan asuransi syariah baru, hasil pemisahan Unit Syariah. Untuk itu, AASI kembali menegaskan komitmen untuk membantu OJK bila diperlukan untuk mempermudah implementasi RKPUS di masing-masing Anggota AASI, baik yang akan melakukan pendirian maupun yang akan melakukan pengalihan. Lebih jauh, AASI bersedia menjadi “match maker” di antara para pemangku kepentingan.
AASI mencatat, intensi untuk masuk ke pasar asuransi syariah masih tetap tinggi. Di akhir tahun 2022 lalu, tercatat adanya pendirian entitas baru sebagai “cangkang” Perusahaan Asuransi Umum Syariah sebagai hasil pemisahan unit syariahnya. AASI juga memantau, di awal tahun hingga kwartal pertama tahun 2023 ini, setidaknya terdapat 3 entitas akan berdiri sebagai “cangkang” sebagai embrio berdirinya perusahaan asuransi syariah baru.
Selain itu, AASI juga mendapatkan permintaan pandangan dari pihak luar negeri yang menyatakan minatnya untuk masuk ke industri asuransi syariah. Pemodal asing ini masih mencari bentuk yang paling sesuai, apakah melalui akuisisi atau melakukan pendirian baru perusahaan asuransi syariah.
Masih berkenaan dengan UU PPSK, terkait dengan Lembaga Penjamin Polis (LPP) yang akan menjadi bagian dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), AASI melihat sebuah konteks sederhana dengan penghapusan Unit Syariah dalam program tersebut. Hal ini dikarenakan potensi timbulnya ambigu dalam pelaksanaan program LPP tadi.
Contoh paling nyata yang telah terjadi, sebuah Perusahaan Asuransi (induk) yang memiliki Unit Syariah mengalami kesulitan likuiditas, sementara Unit Syariah diyakini masih sehat. Namun, karena induknya bermasalah dan mengalami sanksi berupa Beku Kegiatan Usaha (BKU), hal ini juga langsung berimbas kepada Unit Syariah (padahal relatif rehat). AASI memandang hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan baru, di kelak kemudian hari bilamana LPP sudah berjalan.
Skenario lain bisa saja terjadi, semisal Unit Syariah mengalami kesulitan likuiditas, sementara induk relatif sehat. Bagaimana LPP akan bekerja? Untuk itu, kembali AASI memandang bahwa hadirnya perusahaan dalam LPP adalah yang berbentuk entitas secara utuh.
Di sisi lain, AASI memandang bahwa keberadaan LPP akan sangat menguntungkan bagi Perusahaan Asuransi Syariah, karena bisa menjadi marketing gimmick dengan menyebutkan bahwa sebuah perusahaan asuransi syariah dapat diuntungkan dengan “branding” penjaminan polis, yang akan bekerja setelah dana qardh dari perusahaan sudah terkuras. Kondisi ini sebenarnya menunjukkan bahwa di asuransi syariah, terdapat “double cover” yang memberikan jaminan atas dana peserta, yaitu pertama dari perusahaan dan berikutnya dari LPP nantinya.
AASI sendiri meyakini, dengan pencapaian yang tetap stabil di tahun 2022 lalu, industri asuransi syariah akan tetap menunjukkan pertumbuhan sepanjang tahun 2023 ini. Beberapa peluang usaha (baru) akan terlihat, seperti kembali menggeliatnya perjalanan umrah yang harus menggunakan asuransi syariah, maraknya pembangunan infrastruktur yang pendanaannya bersumber dari sukuk yang tentunya asuransi untuk konstruksi pun harus berlandaskan prinsip syariah, berkembangnya kawasan industri halal yang tentunya akan turut menyokong penggunaan asuransi syariah, dan lain-lain.