Obligasi syariah atau sukuk Indonesia lebih tahan dibandingkan surat berharga negara konvensional. Pasalnya, kepemilikan asing di sukuk relatif kecil.
Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto menuturkan nilai pasar sukuk Indonesia tidak akan mengalami gejolak seperti di Malaysia. Dikarenakan, porsi kepemilikan asing pada sukuk Indonesia sangat kecil.
Ia menegaskan, hingga 28 Agustus 2015, porsi kepemilikan asing di sukuk hanya 519 persen. Ini berbeda jauh dengan surat berharga negara konvensional yang porsi kepemilikan asingnya mencapai 38 persen. “Pasar sukuk bisa aman dan stabil. Karena porsi kepemilikan asing di sukuk memang kecil,” kata Suminto, di Jakarta, Senin (31/8).
Pada sukuk Malaysia, dilaporkan anjlok setelah aksi jual yang dilakukan investor asing. Sentimen jual berasal dari tekanan ekonomi dalam negeri, yaitu peningkatan inflansi dan pemelahan nilai tukar ringgit. Selain itu, anjloknya harga minyak dunia dan gejolak politik Malaysia membuat investor asing cenderung melepas sukuk yang bertenor jangka panjang.
Kondisi tersebut, tegas Suminto, dinilai berbeda dengan sukuk RI. Prospek Surat Berharga Syariah Negara (SBNS) dinilai cukup menggembirakan. Dari tahun ke tahun, sukuk pun semakin bisa diandalkan sebagai instrumen pembiayaan.
Ia menjelaskan, baiknya prospek sukuk tercermin dari jumlah penerbitan yang terus meningkat. Pada 2014, pemerintah hanya menerbitkan sukuk sebesar Rp 75,5 triliun. Sedangkan pada tahun 2015, penerbitan sukuk lebih dari Rp 100 triliun. Dalam setiap penerbitan juga selalu terjadi oversurbscribed ( kelebihan permintaan).”Hingga akhir Agustus ini sudah diterbitkan Rp 96, 8 triliun,” katanya.
Menurutnya, tidak menutup kemungkinan jumlah penerbitan sukuk akan meningkat pada tahun depan. Namun, hal itu baru akan diketahui setelah Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 di sahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).