Sektor perdagangan masih menjadi andalan industri perbankan dalam menyalurkan pembiayaan, termasuk bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Suriyah.
Direktur Utama BPRS Suriyah Ahmad Mujahid, mengatakan perdagangan masih mendominasi portofolio pembiayaan BPRS Suriyah dengan prosentase antara 40-50 persen dari total pembiayaan Rp 72 miliar per Juni 2015. “Mayoritas pembiayaan ke perdagangan sekitar 40-50 persen dari total portofolio, sisanya ke konstruksi, industri kecil dan pertanian,” ujar Mujahid saat dihubungi mysharing, Senin (27/7).
Untuk mendukung pembiayaan perdagangan ini, BPRS Suriyah pun menjalin linkage program dengan Danamon Syariah dan Bank Syariah Mandiri. Pada 2015 BPRS yang berada di Cilacap, Jawa Tengah ini memperoleh total dana linkage program sebesar Rp 13 miliar, dimana Rp 10 miliar dari Danamon Syariah dan Rp 3 miliar dari BSM.
Ia menuturkan sebagian besar penyaluran pembiayaan berada di kisaran Rp 25 juta-Rp 50 juta per nasabah. “Pembiayaan ke nasabah antara Rp 5 juta-Rp 500 juta, tapi rata-rata masih di bawah Rp 100 juta. Kalau yang diatas Rp 100 juta masih bisa dihitung jari,” kata Mujahid. Baca: BPRS Majukan UMKM Melalui Linkage Program dengan Bank Syariah
Terkait isu perlambatan ekonomi, Mujahid mengemukakan kondisi tersebut turut memengaruhi bisnis BPRS, namun tak terlalu besar. “Pengaruh ke bisnis ada tapi tidak besar karena kami bermain di usaha kecil. Mungkin bagi teman-teman bank umum yang lebih banyak ke korporat cukup mempengaruhi, tapi ke kami pengaruhnya kecil karena kami melayani pedagang kecil yang tetap masih bisa eksis (di tengah perlambatan ekonomi),” jelas Mujahid.
Hingga Juni 2015 pertumbuhan bisnis BPRS Suriyah pun sesuai dengan target. Mujahid mengungkapkan pihaknya menargetkan pertumbuhan 20 persen. Namun, pada periode Juni 2015 (year-on-year) rata-rata pertumbuhannya telah mencapai 26,5 persen. Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sebesar 24,8 persen dan pembiayaan naik 17 persen. Total aset BPR Suriyah tercatat sekitar Rp 90 miliar dan DPK Rp 78 miliar.
Dari sisi rasio pembiayaan bermasalah (non performing finance/NPF), lanjut Mujahid, pihaknya pun berupaya mempertahankan NPF di bawah lima persen. Per Juni NPF tercatat sebesar 3,9 persen, menurun dari Desember 2014 yang mencapai 4 persen. “Targetnya hingga akhir tahun NPF antara 2-3 persen,” cetus Mujahid. Baca: BPRS Harus Inovatif dan Kreatif
Untuk menekan rasio NPF, papar Mujahid, pihaknya pun akan melakukan tindakan preventif berupa analisa pembiayaan yang lebih bagus dan tajam, terutama di masa saat ini penyaluran pembiayaan akan dilakukan lebih berhati-hati. “Sementara, untuk pembiayaan yang sudah berjalan, kami melihat lagi perkembangannya, apa masalahnya kami mencoba identifikasi dan melihat berapa persennya diukur. Kalau memang bisa ya reschedule, kalau tidak pakai jalan lain apakah eksekusi atau sebagainya. Tapi, sampai sekarang ini sejak kami berdiri, kami belum pernah sampai pada tahap lelang atau eksekusi, jadi pembiayaan bermasalah bisa diselesaikan dengan cara baik,” jelasnya.