Industri perbankan syariah di Indonesia masih terus berkembang secara lambat, bahkan cenderung stagnan, salah satu sebabnya adalah dikarenakan kurangnya asupan modal guna mengembangkan bank syariah ini.
Untuk bank syariah berstatus unit usaha syariah (UUS), sudah jelas-jelas permodalan untuk mengembangkan kinerja usahanya mereka sangat bergantung kebijakan pengembangan bank konvensional yang mengayominya. Apabila bank induknya kurang menganggap penting keberadaan UUS tersebut, maka kinerja bisnis UUS tersebut bisa dipastikan tidak akan maksimal. Itu untuk UUS, lalu bagaimana dengan permodalan bank syariah berstatus bank umum syariah (BUS)?
Menurut praktisi keuangan syariah – M. Gunawan Yasni, urgensi diperlukannya pemodal baru di BUS memerlukan perhatian dan sinergi khusus antara manajemen BUS, dan manajemen bank induk dari BUS yang notabene adalah bank konvensional.
“Hal-hal yang mendesak diperlukannya tambahan modal atas BUS antara lain, batasan minimum Rasio Kecukupan Modal / Capital Adequacy Ratio (CAR) sebesar 8% telah secara pasti didekati oleh sebagian besar BUS yang aktif dalam kegiatan pembiayaan sektor riil mengingat Financing to Deposit Ratio (FDR) BUS secara institusi dan industri lebih baik dari Loan to Deposit Ratio (LDR) dari sebagian besar bank konvensional,” jelas Gunawan Yasni.
Kemudian lanjut Gunawan, yang tak kalah penting adalah, dipastikannya pemegang saham baru di BUS dapat mencapai maksimal 30% kepemilikan.
Selanjutnya hal penting lainnya menurut Gunawan adalah, keinginan Bank Sentral untuk mengatur bahwa BUS yang mencapai lapis/tier 1 permodalan/capital sebesar minimum Rp 1 T otomatis menjadi bank devisa.
“Pentargetan Bank Sentral untuk mengatur Rasio Efisiensi Kegiatan Operasional (Biaya Operasional / Pendapatan Operasional – BO/PO) BUS sebesar 85% yang akan dikaitkan dengan perijinan pembukaan cabang-cabang di daerah-daerah,” tambah Gunawan.
Keempat hal mendesak ini mengerucut kepada diperlukannya tambahan modal atas BUS, jika industri ini memang akan dibesarkan sesuai target-target yang belum pernah benar-benar bisa tercapai selama ini.
“Tambahan modal ini agak kurang sesuai dengan harapan pertumbuhan BUS, jika hanya mengandalkan kucuran dana penyertaan tambahan dari bank induk konvensionalnya. Karena kebanyakan, secara internal bank induk konvensional belum dapat menerima pemegang saham baru baik perorangan/institusi dalam maupun luar negeri, walaupun kebanyakan bank-bank konvensional yang memiliki BUS sudah sangat terbiasa mendirikan anak-anak perusahaannya yang lain dengan bersinergi bersama pemegang saham lain baik perorangan/institusi dalam maupun luar negeri,” papar Gunawan lagi.
Menurut hemat Gunawan, strategi permodalan BUS sebaiknya diarahkan kepada dua hal utama yaitu, Penawaran Umum/Initial Public Offering (IPO) Saham yang dilanjutkan melalui mekanisme bursa efek syariah, maupun juga Penawaran Khusus/Private Placement saham dengan harga saham sesuai kesepakatan.
“Kedua hal ini menyiratkan adanya potensi mendapatkan agio saham untuk lebih banyak memperoleh modal bagi BUS, tanpa harus menambah porsi kepemilikan pemegang saham baru lebih dari maksimal kepemilikan 30%,” tandas Gunawan seraya meyakinkan.
Gunawan menambahkan, kedua hal utama dalam strategi permodalan BUS tentu saja mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
“Penawaran Umum/Initial Public Offering (IPO) Saham yang dilanjutkan melalui mekanisme bursa efek syariah, tentu mempunyai risiko terhadap naik turunnya harga saham BUS bergantung persepsi pasar atas BUS tersebut. Sementara Penawaran Khusus/Private Placement Saham dengan harga saham sesuai kesepakatan, tidak serta merta menjadikan harga saham BUS cukup fair sesuai persepsi pasar, walaupun pemegang saham pendiri dapat menseleksi calon pemegang saham baru yang memenuhi ketentuan dan keinginannya sesuai dengan arah kebijakannya atas BUS,” tegas Gunawan.
Gunawan lalu menjelaskan, perbankan syariah Indonesia sendiri sebenarnya dianggap sangat menarik oleh investor dari Timur Tengah dan Eropa. “Bahkan keuangan syariah di Indonesia pada awalnya digeliatkan dengan iming-iming untuk memasukkan dana-dana dari Timur Tengah,” ujar Gunawan.
Karena itu, saran Gunawan, saatnya BUS dipertimbangkan oleh induk bank konvensionalnya untuk memasuki era dimungkinkannya pemegang saham minoritas maksimal 30%, untuk lebih memacu strategi permodalan BUS yang mampu menumbuhkembangkan industri perbankan syariah ke depan.
“Mungkin diperlukan upaya-upaya menghimbau induk bank konvensional BUS oleh Bank Sentral ataupun Otoritas Jasa Keuangan agar pencapaian pangsa pasar perbankan syariah terhadap total perbankan dapat disesuaikan bahkan lebih baik dari target-target yang belum tercapai selama ini,” ujar Gunawan lagi.
Gunawan lalu menceritakan, dalam beberapa kali kesempatan lawatan ke Eropa dan Timur Tengah, pemrakarsa berdirinya lembaga-lembaga keuangan Islam semisal para pendiri Islamic Bank of Britain beberapa kali mengungkapkan keinginan untuk memiliki sebagian saham BUS di Indonesia.
“Mereka bersedia masuk dengan bahkan menggunakan nominees perusahaan atau individu Indonesia. Saatnya BUS di Indonesia mendunia melalui strategi permodalan yang berdampak kepada tersedianya jaringan kerja internasional bagi BUS,” demikian M Gunawan Yasni menutup perbincangan dengan MySharing.