Menilik statistik perbankan syariah per Maret 2015, mayoritas pembiayaan bank syariah di Indonesia masih didominasi yang berbasis jual beli (murabahah), yaitu sekitar 58,5 persen. Persentase itu tak terlalu mengejutkan karena pembiayaan berbasis jual beli lebih mudah dipahami oleh nasabah dan dijalankan oleh bank.
Dibanding pembiayaan berbasis bagi hasil, pembiayaan akad jual beli juga dinilai berisiko lebih rendah. Aspek risiko itulah yang menjadi salah satu penyebab kurang berkembangnya produk berakad bagi hasil. Oleh karena itu, untuk meningkatkan pembiayaan bagi hasil sejumlah akad terus dieksplorasi, salah satunya adalah musyarakah mutanaqisah (MMQ).
Kajian terhadap produk MMQ sebagai varian produk bagi hasil dan alternatif yang mempunyai daya saing telah dilakukan sejak 2008. Akad tersebut juga sudah masuk dalam Kodifikasi Produk Perbankan Syariah Internasional Direktorat Perbankan Syariah Tahun 2008 dan memperoleh fatwa DSN MUI di tahun yang sama. Baca: MUI Minta OJK Realisasikan BPJS Syariah
Dalam fatwa DSN MUI No 73 Tahun 2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah disebutkan, Musyarakah Mutanaqisah adalah musyarakah yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu pihak berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. Dengan demikian, di ujung akad ini satu pihak, yaitu nasabah akan memperoleh kepemilikan sempurna terhadap suatu aset atau modal. Dalam akad MMQ bank syariah wajib berjanji menjual aset yang disepakati secara bertahap dan nasabah wajib membelinya.
Walau dalam teorinya, pengalihan kepemilikan aset MMQ bisa bolak balik antara nasabah dan bank. Selain itu, sertifikat kepemilikan aset MMQ pun nantinya akan atas nama nasabah karena mempertimbangkan di akhir akad aset tersebut akan menjadi milik nasabah, sehingga tidak akan memerlukan biaya balik nama terhadap aset di akhir akad.[su_pullquote align=”right”]”Sejatinya dalam akad MMQ nasabah hanya membayar cicilan pokok selama pengalihan kepemilikan.”[/su_pullquote]
Hybrid contract pada MMQ inipun mengandung banyak akad, di antaranya adalah syirkah inan (syirkah antara 2 pihak atau lebih, dimana setiap pihak menyumbangkan modal dan menjalankan kerja), ba’i (jual beli), dan ijarah. Sejatinya dalam akad MMQ nasabah hanya membayar cicilan pokok selama pengalihan kepemilikan. Namun, karena nasabah menggunakan aset tersebut maka ada akad ijarah di sana, di mana bank menyewakan bagian kepemilikannya kepada nasabah.
Dari akad ijarah itulah kemudian terdapat pendapatan sewa yang dibagi sesuai porsi kepemilikan. Porsi bank masuk sebagai pendapatan untuk bank, sedangkan bagian pendapatan sewa nasabah akan digunakan untuk membeli kepemilikan aset dari bank. Baca: Mengenal Konsep Bagi Hasil di Bank Syariah
Sementara, aset MMQ ini juga bisa disewakan ke pihak ketiga atas kesepakatan pihak bank dan nasabah. Pendapatan sewa akan dibagi berdasar porsi kepemilikan aset. Di akad MMQ ini juga tidak terjadi double pricing, karena saat pengalihan kepemilikan aset tidak ada margin yang ditambahkan dalam aset. Pendapatan bank murni hanya dari ujrah (upah sewa) saja.