Indonesia sepatutnya mencontoh sistem perekonomian syariah di Malaysia yang mampu memberdayakan ekonomi kelas menengah dan bawah.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Din Syamsuddin saat memimpin rapat pleno bertajuk “Strategi Pembangkitan Perekonomian Umat Islam,” di kantor MUI Pusat, Jakarta, Rabu (23/3).
“Indonesia perlu seperti Malaysia memberdayakan masyarakat ekonomi lemah dalam sistem ekonomi syariahnya. Ini agar tidak ada kesenjangan kesejahteraan. Karena kesenjangan itu akan melahirkan konflik,” ungkap Din.
Din menegaskan, pihaknya menyambut baik usulan dari anggota Wantin MUI yaitu ormas Islam, terkait soal perlunya Indonesia menggencarkan pertumbuhan ekonomi syariah secara lebih masif, seperti di Malaysia yang terus bertumbuh.
”Sistem ekonomi syariah terbukti berhasil di Malaysia yang mayoritas penduduknya Muslim. Sebagaimana kondisi sosial penduduk Indonesia juga harus membuktikan ekonomi syariah sukses tentu perlu dukungan pemerintah,” papar Din.
Din menyampaikan, mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Mohamad, pernah sukses membangkitkan perekonomian warga Melayu dengan kebijakan-kebijakan yang menumbuhkan ekonomi pribumi dan hal itu bisa menjadi panutan bagi Indonesia. Namun, tegas Din, sistem pembangunan ekonomi sejak Orde Baru hingga saat ini dengan pemerintahan yang baru pun masih kurang berpihak kepada kepentingan umat Islam sebagai kelompok mayoritas di Indonesia.
Sejauh ini, menurutnya, kelompok mayoritas ini kerap dirugikan secara ekonomi dan berada di posisi pinggiran, terpuruk dan terpojok oleh kekuatan ekonomi besar di luar umat Islam. Untuk itu, perlu adanya keberpihakan dan ekonomi keadilan sebagaimana amanat konstitusi. Salah satunya penerapannya adalah harus ada Undang-undang sistem Perekonomian Nasional merujuk pada amar UUD 1945 pasal 33.
”Kalau negara hadir berpihak kepada umat Islam, maka otomatis berpihak kepada rakyat dan keseluruhan. Tapi, kalau negara terlalu membuka diri untuk kapitalisme global, maka akan semakin memunculkan konglomerat atau pengusaha besar yang nantinya kurang meneteskan manfaat ekonomi ke lapisan bawah. Ini memprihatinkan,” ungkap Din.