Bijak Menggunakan Kartu Kredit Syariah

Meskipun saat ini sudah ada kartu kredit berlandaskan hukum syariah dari beberapa bank syariah, namun demikian perilaku nasabah sebaiknya tidak menjadikan kartu kredit syariah sebagai ajang berperilaku konsumtif atau bermewah-mewahan.

Illustrasi Kartu Kredit SyariahMike Rini Sutikno, konsultan perencana keuangan dari MREDU (Mike Rini & Associate Financial Planning and Education) berpendapat, bahwa kartu kredit syariah harus dipergunakan dengan bijak, dan tidak digunakan secara berlebihan.

Menurut Mike Rini, kartu kredit syariah sebenarnya relatif sama saja dengan kartu kredit yang dikeluarkan oleh bank konvensional, baik fungsi maupun kegunaannya. Bedanya kalau kartu kredit syariah, bank syariah yang menerbitkannya tidak diperkenankan untuk memungut bunga, tetapi hanya imbal jasa atau fee dari setiap pemakaian kartu kredit syariah tersebut.

“Jadi karena fungsi dan kegunaannya sama dengan kartu kredit konvensional, kartu kredit syariah bisa juga membawa mudharat, baik kepada nasabah maupun bagi bank syariah yang menerbitkannya,” tegas Mike Rini.

Resiko kemudharatan tersebut, menurut Mike, pertama, kartu kredit syariah bisa mendorong nasabah untuk bersikap konsumtif, boros yang dilarang oleh ajaran agama Islam.

Resiko kedua, ssalah satu misi utama bank syariah adalah mendorong terciptanya sektor rill yang banyak menyerap tenaga kerja bukannya sebaliknya menciptakan ummat yang konsumtif. Maka, kalau banyak kartu kredit syariah yang bermasalah, misalnya, pembayaran kartu kredit syariah banyak yang macet, hal ini bisa mengganggu misi utama bank syariah dalam mendorong terciptanya sektor rill tersebut.

Sementara resiko yang ketiga, lanjut Mike, kartu kredit syariah tidak dikenakan bunga keterlambatan dan tidak adanya jaminan (collateral) dari para nasabah penggunanya. Sehingga nasabah tidak ada ikatan moral maupun materill untuk segera melakukan pembayaran tagihan kartu kredit syariahnya. Karena itu, bisa saja nasabah cenderung melakukan penundaan pembayaran tagihan kartu kredit syariahnya. Hal ini bisa meningkatkan resiko Non Performing Financing di Bank Syariah yang menerbitkan kartu kredit syariah.

Selain itu, yang perlu juga dicermati dari kartu kredit syariah ini, menurut Mike, posisi kartu kredit adalah fasilitas hutang yang menimbulkan kewajiban pembayaran cicilan pokok dan keuntungan. Karena itu dibandingkan dengan pembelanjaan tunai, maka pembelanjaan dengan kartu kredit pastinya lebih mahal. Selain itu dorongan pembelanjaan yang sifatnya konsumtif mudah sekali terpicu jika seseorang memiliki kartu kredit, bahkan kartu kredit syariah sekalipun. Maklum, fasilitas hutang tanpa sadar memicu keinginan belanja, tak peduli ada uang atau tidak – yang penting bisa hutang.

Namun demikian, menurut Mike, selain sisi yang harus dipertimbangkan di atas, sisi positif dari kartu kredit syariah ini adalah bebas bunga. “Penggunaannya seperti kartu kredit, tetapi tidak ada pembayaran minimum seperti kartu kredit. Jadi, begitu jatuh tempo, tagihan harus dilunasi seluruhnya, tidak boleh dicicil. Ini tentunya membuat pengguna kartu kredit menjadi lebih disiplin dalam pembelanjaan mereka. Jika hutang lama belum lunas, maka stop belanja dulu, jangan ambil hutang baru. Kabarnya merchantpun terseleksi dari penyedia barang dan jasa yang sesuai syariah. Kalau hal ini benar maka akan mendorong pengguna untuk lebih selektif dalam pembelanjaannya,” papar Mike Rini.

Disisi lain, tambah Mike Rini, bukan berarti hutang atau pembiayaan itu adalah buruk. “Sebab dengan adanya pembiayaan, kita juga bisa makin produktif. Contohnya jika hutang itu digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan keuntungan. Karena itu diharapkan agar bank penerbit kartu kredit syariah tidak mengarahkan atau memancing gaya hidup konsumtif. Program-program pemasaran kartu kredit seharusnya di rancang dengan tujuan pemberdayaan masyarakat. Sebaliknya masyarakat juga harus bijak dalam menggunakan kartu kredit syariah,” himbau Mike Rini.