Saat ini industri perbankan syariah belum memiliki acuan margin tersendiri karena masih mengacu pada suku bunga BI (BI rate). Untuk membangun produk keuangan sesuai syariah, maka perbankan syariah memerlukan acuan rate margin yang jelas.
Menurut Koordinator Kekhususan Bidang Keuangan dan Perbankan Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Zaäfri Ananto Husodo, bank syariah harus memiliki reference rate tersendiri berdasar pada dinamika bisnis sektor riil. Misalnya, sektor pertanian memiliki imbal hasil paling tinggi tapi risikonya juga paling tinggi, sedangkan sektor usaha lainnya bisa saja memberikan imbal hasil tinggi, namun risikonya relatif lebih rendah dibanding pertanian. Maka, margin antara satu sektor usaha dengan yang lain pun dapat berbeda. “Mestinya di bank syariah bisnisnya ada negosiasi, nah kalau kita negosiasi tanpa ada acuan kan sulit. Reference rate akan membantu hal itu,” ujar Zaäfri. Kedua pihak pun bisa mengetahui secara transparan margin bagi hasil yang diperoleh.
Zaäfri menuturkan kajian mengenai reference rate berdasar sektor riil telah dilakukan sejak tiga tahun dan disampaikan ke publik. Namun, menurutnya, masih ada keberatan dari pihak perbankan syariah karena masih belum mengenal penghitungan reference rate dengan baik.
Di sisi lain, tambah Zaäfri, pihaknya pun belum menghitung secara detail apakah reference rate bisa menurunkan biaya perbankan. “Namun, setidaknya ini akan mengembalikan fungsi bank syariah untuk lebih banyak ke akad risk sharing,” tukas Zaäfri. Baca: Mengenal Akad Musyarakah Mutanaqisah
Ia pun mengusulkan agar pemutakhiran data sektor riil dan reference rate bank syariah dapat dilakukan oleh regulator. “Jadi kurang lebih sama fungsinya seperti BI rate, cuma ini (reference rate) berasal dari sektor riil,” kata Zaäfri. Idealnya reference rate juga dapat ditinjau secara berkala setidaknya tiga bulan sekali.
Sementara, Direktur Eksekutif Perbankan Syariah Direktorat Perbankan Syariah OJK, Ahmad Buchori, mengakui saat ini perbankan syariah belum memiliki perhitungan yang unik dan masih mengikuti perbankan konvensional. “Jadi supaya mudah perbankan syariah dalam menentukan margin atau return disamakan dengan bank konvensional, misal di konvensional kreditnya 14 persen ya udah margin 14 persen atau kalau mau kompetitif diturunkan jadi 13 persen,” tukas Buchori. Baca: Mengenal Konsep Bagi Hasil di Bank Syariah
Oleh karena itu, OJK pun sedang membuat kajian untuk penghitungan margin yang disesuaikan dengan sektor riil dan permintaan pasar. Suku bunga konvensional pun hanya berperan sebagai pembanding, bukan penentu besaran margin. “Misalnya margin untuk jual beli atau sewa ya beda. Atau, menghitung usaha properti di Menteng, Tebet dan Ciputat tentu beda-beda dong marginnya. Semakin tinggi permintaan, margin akan tinggi. Jadi ada kajiannya, jangan dipukul rata. Begitu juga dengan pertanian palawija atau perkebunan yang berjangka panjang dengan perikanan harusnya masing-masing beda,” ujar Buchori.
Ia menambahkan saat ini kajian tersebut masih berlangsung karena dilakukan secara bertahap. Selain itu, OJK juga sedang mengembangkan program penghitungan margin. “Jadi supaya mempercepat penghitungan. Di program itu tinggal dimasukkan berapa nilai pembiayaan dan jangka waktunya, lalu acuan marginnya akan muncul,” pungkas Buchori