Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) mengusulkan tiga zonasi penerbitan aturan modal untuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Diharapkan usulan itu masuk dalam POJK BPRS, tahun 2015 ini.
Ketua Kompartemen BPRS Asbisindo Cahyo Kartiko menyampaikan, pihaknya telah memberikan usulan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait rencana penerbitan aturan zonasi untuk BPRS.
Cahyo menuturkan, OJK melalui peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat telah mengatur aturan modal untuk bank perkreditan konvensional menjadi 4 zona. ”Untuk BPRS, asbisindo mengusulkan 3 zona,” kata Cahyo kepada MySharing, ditemui di Jakarta, belum lama ini.
Usulan itu, lanjut dia, sangat beralasan. Pasalnya, data perbankan syariah yang diterbitkan OJK mencatat per Mei 2015 jumlah BPRS di wilayah Indonesia sebanyak 163 bank. Sementara jumlah BPR yakni sebanyak 1.643 bank. Sehingga kalau dibagi empat zonasi, kedudukan BPRS terlalu jarang-jarang.
Apalagi, tegas dia, aturan untuk zona 1 yang berada di wilayah DKI Jakarta harus menyetor modal minimum Rp 14 miliar untuk mendirikan BPR baru. Untuk zona 2 atau wilayah Jawa dan Bali, serta kabupaten atau kota Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi harus menyetor minimal Rp 8 miliar.
Sedangkan untuk pendirian BPR baru di zona 3 atau di ibukota provinsi luar Jawa dan Bali harus menyetorkan modal minimal Rp 6 miliar dan di zona 4 atau wilayah lain, seperti kawasan Indonesia Timur minimal modal disetor Rp 4 miliar.
”Kami mengusulkan adanya relaksasi dalam penentuan modal minimum. Jadi kalau bisa setengah dari BPR konvensional,” kata Cahyo.
Setengah zona dari BPR itu, lanjut dia, misalnya zona 1 dengan modal disetor minimal untuk pendirian BPRS baru senilai Rp 7 miliar, zona 2 dengan modal disetor minimal Rp 4 miliar, dan zona 3 dengan modal disetor minimal Rp 3 miliar.
Menurutnya, mengusulkan pembagian 3 zonasi tersebut dengan pertimbangan bahwa industri BPRS masih relatif muda dengan jumlah bank yang relatif sedikit dibandingkan jumlah BPR konvensional dan lokasinya tersebar di beberapa pulau. ”Industri BPRS harus berkembang dalam arti kuantiti atau jumlah banknya, dan OJK harus mendukung dengan memberikan relaksasi,” tukasnya.
Dengan adanya reklasasi terkait aturan zonasi, kata Cahyo, diharapkan nantinya para investor menjadi tertarik untuk mengembangkan BPRS yang telah ada dan menanamkan investasinya di BPRS. Sehingga BPRS banyak tersebar di seluruh Indonesia.
Namun, lanjut Cahyo, jika tidak diberikan relaksasi, dikhawatirkan investor tidak tertarik dan mendorong terjadinya merger atau akuisisi BPRS yang telah ada apabila para investor tidak tertarik menambah modal.
”Sudah industrinya kecil, NPF dan modal gede. Nggak ada opsi yang bisa mendorong pertumbuhan BPRS. Tapi kalau misalnya setengah daripada ketentuan BPR konvensional, maka masih ada opsi meskipun ini industri dianggap masih belum sehat. Tapi modal setor kan tidak terlalu tinggi, sehingga cukup menarik dibandingkan BPR konvesnional,” tukas Cahyo.
Terkait usulan itu, asbisindo menunggu keputusan OJK, apakah disetujui atau tidak. Namun menurutnya, paling tidak pihaknya sudah berusaha dan diharapkan usulan itu bisa masuk dalam POJK kelembagaan BPRS, tahun ini.