Tantangan dan Kendala Industri Kosmetik di Indonesia menghadapi Wajib Halal 2026

Berdasarkan UU No 33 Tahun 2013 tentang Jaminan Produk Halal, produk kosmetik termasuk juga dalam produk yang wajib disertifikasi halal.

Produk kosmetik masuk dalam Tahap Kedua untuk penerapan kewajiban bersertifikat halalnya yang  mandatory-nya akan mulai dilaksanakan pada 17 Oktober 2026. Ini merupakan amanat  Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Bidang Jaminan Produk Halal.

Mengapa sertifikasi halal diatas sangat penting bagi industry kosmetik di tanah air? Lalu bagaimana dengan kesiapan industri kosmetik sendiri dalam menghadapi mandatory tahun 2026 tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, diselenggarakan lah Webinar Batch #2 dalam rangka Road to Show INDONESIA Halal Industry & Islamic Finance Expo 2023 dengan Tema “Persiapan Industri Kosmetika Menghadapi Wajib Halal” di Jakarta pada 25 Mei 2023.

Pentingnya sertifikasi halal bagi industri kosmetika

Halal Audit Quality Board LPPOMMUI – Mulyorini Rahayuningsih Hilman dalam acara webinar tersebut menjelaskan, bahwa sertifikasi halal adalah penting dalam menghadapi mandatory sertifikasi halal di Indonesia, dimana penahapan untuk produk kosmetik dateline-nya adalah 17 Oktober 2026.

Selain itu, lanjutnya, “Proses sertifikasi halal tersebut akan bermanfaat pula jika bahan/produk   akan diekspor ke negara negara tertentu di Luar Negeri yang mempersyaratkan kehalalan,” papar Mulyorini.

Mulyorini lalu mengungkapkan, disamping karena pemenuhan regulasi, mengapa kosmetik ini perlu halal?

“Komestik pada penggunaannya bisa berpeluang, masuk ke dalam tubuh/tertelan  (internal uses cosmetics), contohnya  lipstick, dan lipbalm. Lalu kosmetik berada dalam  bagian tubuh  tertentu,  untuk jangka waktu tertentu dan dapat mempengaruhi keabsahan  wudhu (External uses  cosmetics),  contoh cat rambut,  decorative cosmetics yang waterproof, dan lain-lain,” paparnya mewanti-wanti.

Selain itu, lanjut Mulyorini, bahan  penyusun kosmetik dan prosesnya berpeluang kritis dari segi kehalalan.

Tantangan dan kendala sertifikasi halal produk kosmetika

Sementara itu, Tim Halal Task Force Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) – Febianti mengungkapkan dalam webinar, tentang mengapa produk kosmetika harus sertifikasi halal?  “Pertama, karena populasi ummat muslim di Indonesia terbesar di Dunia (87,18%) dari jumlah penduduk Indonesia). Kedua, kosmetika yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia harus bersertifikat halal. Hal ini tercantum dalam UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal,” jelas Febianti.

Febianti lalu menjelaskan, bahwa kesadaran untuk sertifikasi halal produk kosmetik saat ini juga terus meningkat di kalangan industri komestik di tanah air.

Namun demikian, Febianti mengakui, ada beberapa tantangan dan kendala untuk sertifikasi halal produk kosmetika ini.

Pertama, tentang bahan baku kosmetika wajib memiliki Sertifikasi Halal berdasarkan KMA 748 tahun 2021. “Masih banyak bahan baku kosmetika yang belum memiliki sertifikat halal dan masih menggunakan dokumen pendukung,” ujarnya.

Kedua, tentang bahan baku kosmetika impor. “Masih banyak bahan baku kosmetika impor yang belum memiliki sertifikat halal, dan dibutuhkan tambahan biaya untuk proses registrasi sertifikat halal bahan baku impor,” lanjut Febianti.

Ketiga, produk kosmetika sangat dinamis, sehingga membutuhkan proses sertifikasi halal yang cepat. “Timeline Proses Sertifikasi Halal masih belum sesuai dengan Peraturan yang berlaku dimana idealnya proses sertifikat halal 21 HK,” ungkap Febianti.

Keempat, biaya sertifikasi halal cukup memberatkan untuk pelaku usaha terutama UMKM. “Karena pelaku usaha UMKM produk kosmetika tidak bisa disertakan dalam Program SEHATI,” jelasnya.

Kelima, produk impor kosmetika harus memiliki Sertifikat Halal yang diterbitkan oleh BPJPH. “Untuk pengajuan sertifikat halal produk kosmetika impor pentarifan biaya pemeriksaan halal sangat besar, karena dibutuhkan audit fasilitas luar negeri,” ungkap Febianti.

Berikutnya keenam, media konsultasi dengan BPJPH. Menurut Febianti, “Belum ada media konsultasi yang fast responsive dan solutif.”

Terakhir ketujuh, kewajiban pemisahahan sarana distribusi, transportasi dan penyimpanan kosmetika halal dan non halal. “Masih terbatasnya edukasi mengenai Halal Supply Chain bagi para distributor dan retailer. Kesulitan secara teknis untuk tata letak kosmetika halal dan non halal dalam display penjualan,” papar Febianti lagi.

Dalam menjawab tantangan dan kendala di atas, Febianti lalu mengungkapkan dukungan yang diperlukan untuk sertifikasi halal produk kosmetika.

Pertama, menurutnya adalah, simplifikasi persyaratan dokumen pendukung bahan baku halal.

Kedua, percepatan MRA Lembaga Halal Luar Negeri serta memasukkan Produk jadi Kosmetika kedalam List yang dapat disertifikasi di LHLN.

Ketiga, BPJPH agar dapat bekerjasama dengan LPH di Luar Negeri, sehingga dapat meringankan biaya pemeriksaan audit halal di Luar Negeri.

Keempat, fleksibilitas Penerapan SJPH terutama pada proses distribusi dan penyajian produk jadi Kosmetika karena produk sudah terlindungi kemasan sehingga kemungkinan kecil dapat terkontaminasi.

Kelima, kolaborasi seluruh pemangku kepentingan di Indonesia. “Kemendag dan Kemenperin untuk memastikan industri bahan baku dan bahan kemas serta bahan lain pendukung industri kosmetika dapat melakukan sertifikasi halal. Kemudian, Kemenperin atau Kemenkop & UKM untuk memastikan UMKM Kosmetika masuk dalam program SEHATI,” demikian tutup Febianti, Tim Halal Task Force Perkosmi.