Dalam asuransi syariah tak hanya ada akad tabarru’ yang memiliki konsep tolong menolong. Ada pula akad mudharabah yang memberikan bagi hasil kepada peserta dan perusahaan asuransi sebagai operator.
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, ada dua akad dalam asuransi syariah yaitu akad tabarru’ dan akad tijarah. Dalam asuransi syariah, akad tijarah (akad yang dilakukan untuk tujuan komersial) yang digunakan adalah akad mudharabah yang berkonsep bagi hasil.
Saat peserta mendaftar di sebuah perusahaan asuransi, premi peserta akan dibagi dua untuk dana penempatan berakad tabarru’ dan yang berakad mudharabah. Melalui akad mudharabah, perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola (mudharib) dan peserta asuransi berlaku sebagai pemegang polis (shahibul mal). Baca: Akad Tabarru’ di Asuransi Syariah
Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah itu dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagihasilkan kepada peserta. Ini berbeda dengan akad tabarru’ (hibah). Walaupun premi yang berasal dari jenis akad tabarru’ dapat diinvestasikan, hasil investasinya kembali masuk sebagai dana hibah untuk menolong peserta lain yang terkena musibah.
Hal tersebut sesuai dengan kaidah fikih bahwa jenis akad tabarru’, yang bentuk akadnya dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah yang bersifat komersial. Namun, jenis akad tijarah dapat diubah menjadi akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya, sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
Terkait klaim, peserta pun memiliki hak sepenuhnya atas dana yang berasal dari akad mudharabah dan menjadi kewajiban perusahaan asuransi untuk memenuhinya. Dari pengelolaan dana tersebut, perusahaan asuransi pun turut memperoleh bagi hasil karena bertindak sebagai pengelola dana. Baca: Asuransi Syariah atau Konvensional?