Booth AASI di salah satu pameran. Foto: AASI

AASI Tetap Berpegang Regulasi Kewajiban Pemisahan Unit Syariah

Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) mengajak para anggotanya yang masih berbentuk unit syariah (US) untuk tetap berpegang kepada aturan pemerintah dan regulator terkait kewajiban pemisahan unit syariah dengan batas waktu 17 Oktober 2024.

Regulasi dimaksud  adalah Undang-undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian dan POJK Nomor 67/POJK.05/2016  tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.

“Hal ini untuk menepis isu-isu yang menyatakan adanya kemungkinan perubahan atau pembatalan aturan kewajiban spin off tersebut, sehingga membuat para anggota kurang melakukan persiapan untuk menghadapi batas waktu pemisahaan yang telah ditentukan,” demikian jelas Ketua AASI – Tatang Nurhidayat dalam keterangan pers AASI, hari ini, Jumat (8/1) di Jakarta.

Ketua AASI – Tatang Nurhidayat menyampaikan, bahwa sejauh ini tidak ada kegiatan resmi dari pihak manapun yang mengarah kepada perubahaan ketentuan tersebut. Bahwa adanya pro dan kontra terhadap kewajiban spin off ini memang ada, namun AASI akan tetap berpegang kepada aturan OJK, yang mana tidak ada aturan resmi yang mengubah atau membatalkan ketentuan kewajiban spin off tersebut. Bukan hanya di perasuransian juga di perbankan.

“Ini penting kami sampaikan, karena sangat repot sekali nantinya jika anggota AASI yang masih berbentuk unit syariah tidak melakukan persiapan maksimal untuk spin off, karena ada yang percaya dengan isu-isu adanya perubahaan ketentuan kewajiban spin off dari regulasi,” kata Tatang.

Menurut Tatang, pihaknya menegaskan bahwa AASI mengikuti aturan yang masih berlaku, kecuali jika ada Undang-undang yang memutuskan antara jadi spin off atau tidaknya.

“Dan sampai saat ini belum ada usaha atau hal-hal resmi yang mengubah ketentuan kewajiban pemisahan unit syariah. Oleh karena itu kami ingin meluruskan, jangan sampai ada yang salah informasi, yang mengakibatkan perusahaan kurang persiapan,” ungkap Tatang.

Tatang juga mengajak para pihak-pihak terkait, untuk istiqamah memberikan yang terbaik untuk perkembangan industri asuransi syariah di Indonesia.

“Bahwa isu ini sulit untuk ditemukan faktanya dari segi kajian ataupun usulan. Akan lebih nyaman rasanya kalau kita tetap sesuai dengan aturan yang ada, agar terus bersiap untuk spin off secara maksimal, sekalipun menemukan kesulitan. Kalaupun ada kebijakan terbaru dari pemerintah dan regulasi, setidaknya kita sudah bersiap,” ujar Tatang.

Sebagaimana diketahui perusahaan asuransi yang memiliki unit usaha syariah perlu mematangkan sejumlah kajian sebelum melakukan spin off yang jatuh tempo pada tahun 2024 nanti. Kajian-kajian tersebut diantaranya dari segi bisnis, rencana strategis kajian modal, kajian SDM, kajian legal, dan lain sebagainya.

Setelah kajian-kajian ini dilakukan, akan ada dua kesimpulan, yaitu layak spin off dan tidak layak spin off. Yang layak spin off dipersilakan mendirikan entitas perusahaan sendiri, dan yang tidak layak spin off memiliki opsi untuk memindahkan portofilio bisnisnya ke perusahaan yang sudah full fledge atau dengan mekanisme merger dengan unit usaha syariah lainnya.