Seiring berkembangnya kebutuhan finansial masyarakat, lembaga keuangan syariah dituntut inovatif.
Teori dan praktek hybrid contract (multi akad) perlu dan wajib diketahui para pemangku kepentingan keuangan syariah. Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Agustianto, memaparkan 10 alasan utama pentingnya hybrid contract bagi industri keuangan syariah :
Baca: 10 Alasan Perlunya Memahami Hybrid Contract Keuangan Syariah: Bagian (1)
Keenam, hybrid contract terkait dengan struktur draft kontrak. Teori hybrid contract akan memandu legal officer dan notaris mengenai akad-akad apa saja yang bisa disatukan dalam satu draft perjanjian (kontrak) dan akad-akad apa saja yang harus dipisahkan.
- Bank Aladin Syariah Sinergi dengan BPKH Perluas Ekosistem Keuangan Syariah
- Bank Muamalat Gandeng Sahid Tour & Travel Salurkan Pembiayaan Haji Khusus
- Diskusi Inspiratif Rabu Hijrah: “Sinergi Pentahelik Ekonomi Syariah Mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045”
- Bank Mega Syariah Kembangkan Layanan Wealth Management Berbasis Syariah
Ketujuh, hybrid contract terkait dengan aspek syariah (shariah compliance).
Kedelapan, hybrid contracts terkait dengan biaya notaris. Kalau notaris tidak memahami teori hybrid, maka semua akad-akad dalam satu produk akan dikenakan biaya. Semakin banyak akad dalam satu produk, maka akan semakin banyak biayanya. Berhubung banyaknya akad dalam satu produk, maka teori hybrid contracts ini harus dipahami notaris dan legal officer dengan baik.
Kesembilan, hybrid contract terkait dengan harmonisasi hukum positif. Banyak sekali notaris yang salah paham tentang akad-akad syariah, karena tidak memahami teori syariah tentang hybrid contracts. Hybrid contract dirumuskan kadang sebagai makharij (jalan keluar) untuk mewujudkan sharia compliance yaitu agar kontraknya halal dan sesuai syariah, karena itu semua akad itu harus dilaksanakan walaupun kelihatan seperti berputar (berbelit), tetapi semua itu dimaksudkan untuk kepatuhan kepada syariah. Dalam prakteknya, terkadang tidak semua akad-akad itu harus dinotarilkan sebagai akad otentik. Hal ini terjadi misalnya dalam akad pembiayaan KPR melalui Musyarakah Mutanaqishah, pembiayaan take over, instrument commodity syariah untuk pasar uang, pembiayaan multiguna syariah, hedging dengan Islamic swap, dan sebagainya.
Kesepuluh, hybrid contract terkait dengan kesederhanaan dan efisiensi. Tanpa memahami teori hybrid contracts selalu terjadi pemborosan (tenaga dan kertas) dan pengulangan pasal-pasal perjanjian yang tidak perlu. Seringkali terjadi format-format akad yang terlalu tebal, karena pasal-pasalnya berulang-ulang di setiap judul akad, dan ini menimbulkan pemborosan tenaga, kertas, dan biaya lainnya, seperti yang telah terjadi saat ini dimana praktisi perbankan memisahkan akad Musyarakah Mutanaqishah dan ijarah, padahal keduanya bisa disatukan, sehingga lebih efisien dan sederhana.