Hybrid Contracts sebenarnya bukanlah teori baru dalam khazanah fikih muamalah.
Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Agustianto, mengatakan para ulama klasik Islam sudah lama mendiskusikan topik hybrid contract (multi akad) berdasarkan dalil-dalil syara’ dan ijtihad yang shahih. Namun, dalam kajian fikih muamalah di pesantren bahkan di Perguruan Tinggi Islam, isu ini kurang banyak dibahas karena belum banyak bersentuhan dengan realita bisnis di masyarakat.
Padahal, di masa kemajuan lembaga keuangan dan perbankan seperti saat ini, konsep dan topik hybrid contract kembali mengemuka dan menjadi teori dan konsep yang tak terelakkan. “Sejumlah buku dan karya ilmiah pun bermunculan membahas dan merumuskan teori al-‘ukud al-murakkabah (hybrid contracts) ini, terutama karya-karya ilmiah dari Timur Tengah,” ujar Agustianto dalam pernyataannya yang diterima mysharing, Senin (28/9).
Agustianto pun memaparkan 10 alasan utama mengapa teori dan praktek hybrid contract perlu dan wajib diketahui para pemangku kepentingan keuangan syariah :
Pertama, karena hybrid contracts terkait dengan pajak. Banyak produk perbankan dan keuangan syariah yang mengandung hybrid contract, seperti Musyarakah Mutanaqishah (MMQ), Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT), pembiayaan take over, dan lainnya. Pejabat dirjen pajak harus memahami teori hybrid contract dengan tepat agar tidak salah dalam penagihan pajak.
Kedua, hybrid contracts terkait dengan akuntansi dan PSAK. Dari sekian banyak akad dalam sebuah produk pembiayaan, harus diketahui akad mana yang dicatatkan dalam pembukuan. Dalam akad MMq misalnya, apakah akad ijarah atau musyarakah yang dicatatkan, demikian pula dalam hybrid contract lainnya, seperti kafalah bil ujrah pada L/C, hiwalah bil ujrah pada anjak piutang, wakalah bil ujrah pada factoring, hingga produk gadai yang mengandung tiga akad, rahn, qardh dan ijarah.
Ketiga, hybrid contracts sangat terkait dengan inovasi produk. Bank-bank syariah yang ingin mengembangkan dan menginovasi produk harus memahami teori hybrid contracts agar bank syariah bisa unggul dan dapat bersaing dengan konvensional. Teori hybrid contracts harus digunakan dan dipahami dengan baik agar bank syariah bisa lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan produk-produknya. Selain itu hybrid contracts terkait dengan manajemen risiko, termasuk risiko hukum, karena itu praktisi bank syariah mutlak harus memahami teori dan prakteknya.
Keempat, hybrid contract terkait dengan regulasi. Para regulator (Bank Indonesia dan para direktur lembaga keuangan syariah di OJK) harus memahami dengan baik teori dan praktek ini agar tidak salah dalam membuat aturan.
Kelima, hybrid contracts terkait dengan putusan hakim di pengadilan, putusan arbitrer di Badan Arbitrase Syariah Nasional dan terkait dengan risiko hukum. Para hakim yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah wajib memahami ini. Pengacara syariah juga harus mengerti tentang teori dan praktik hybrid contracts agar tidak salah dalam melihat akad-akad, seperti MMQ, IMBT dan lainnya.
Baca : 10 Alasan Perlunya Memahami Hybrid Contract Keuangan Syariah: Bagian (2)