Optimalisasi Dana Wakaf, Bank Syariah Masih Terganjal Regulasi

Dalam mengoptamilasi dana wakaf melalui proyek produktif, bank syariah hanya sebagai perantara bukan nazir.                .

Direktur Direktorat Penelitian, Pengembangan, dan Perizinan Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Deden Firman Hendarsyah mengatakan,  pemanfaatan potensi dana wakaf agar dapat dikembangkan melalui proyek produktif untuk memperkuat keuangan syariah.

Namun, menurut Deden, untuk pengoptimalkan  dana wakaf melalui lembaga keuangan syariah seperti bank syariah masih terganjal regulasi dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. UU tersebut  mengatur bank syariah tidak bisa sebagai penerima wakaf (nazir).

“Bank syariah hanya boleh sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penyalur Wakaf Uang (LKSWU). Jadi, bank syariah itu hanya sebagai perantara, bukan sebagai nazir,” ungkap Deden di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Deden, regulasi yang ada saat ini hanya memungkinkan lembaga keuangan syariah berperan sebagai perantara dana wakaf. Pengadministrasian, pengelolaan, dan pengembangan wakaf merupakan tugas dari nazir atau pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif. Bank syariah sendiri tidak diperbolehkan menjadi nazir, dalam aturan UU tersebut.

Keungulan Bank Syariah Kelola Dana Wakaf

Deden mengatakan, ada keunggulan yang dapat diperoleh apabila bank syariah menjadi nazhir. Pertama, keunggulan akses kepada wakif. Kedua,  kemampuan menginvestasikan harta benda wakaf secara tepat, dan  ketiga keunggulan administratif yang baik dalam pengelolaan dana atau keuangan.

Keempat adalah, bank syariah memiliki kredibilitas yang baik di mata masyarakat, dan kelima yaitu, potensinya bisa dengan cepat dioptimalkan oleh bank syariah.

Sehingga menurut Deden, tidak menutup kemungkinan bila UU Wakaf tersebut direvisi karena mengoptimalkan potensi dana wakaf dan menjadikannya produktif perlu dana. Ini diharapkan bisa dijembati perbankan syariah. “Ini memang membutuhkan kreativitas perbankan syariah,” pungkas Deden.