Ketua Umum AASI, Ahmad Sya'roni (keempat dari kiri). foto::MySharing.

AASI Mendorong Produk Standar Asuransi Syariah

Penggunaan teknologi di bidang keuangan (fintech) saat ini sedang berkembang pesat dan akan merambah bisnis asuransi syariah. Karena itu perlu adanya fatwa khusus mengenai fintech ini di asuransi syariah

Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) – A Sya’roni saat berbicara di acara Insurance Outlook 2018 di Hotel Le Meridien Jakarta baru-baru ini mengungkapkan, bahwa prospek industri asuransi syariah di Indonesia masih sangat bagus. Namun demikian, lanjutnya, masih banyak kendala yang harus dihadapi di lapangan, dan menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama dari para stake holder terkait di industri ini.

“Pemahaman masyarakat yang masih rendah terhadap asuransi syariah. Karena berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan OJK pada tahun 2016 lalu, menunjukkan rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap Asuransi Syariah hanya 2,51%. Padahal pemahaman masyarakat terhadap Asuransi (konvensional) mencapai 15,75%,” ungkap Sya’roni.

Karena itu, lanjut Sya’roni, pihak asosiasi (AASI) berkomitmen penuh untuk terus meningkatkan literasi dan pemahaman masyarakat umum yang masih sangat kurang terhadap asuransi syariah tersebut.

Selama ini berbagai program dilakukan AASI secara kontinyu didalam memberikan awareness tentang pentingnya asuransi syariah kepada masyarakat luas. Misalnya, program literasi asuransi syariah ke berbagai kalangan/komunitas di masyarakat, kemudian peluncuran produk-produk asuransi syariah mikro yang biayanya sangat terjangkau masyarakat, dan masih banyak lagi.

Sya’roni lalu mengungkapkan kendala lainnya didalam pengembangan industri asuransi syariah di Indonesia, yaitu persoalan kapasitas.

“Saat ini industri menghadapi kendala terkait kemampuan akseptasi bisnis yang terbatas akibat masih kecilnya kapasitas yang dimiliki. Misalnya, permodalan yang relatif masih terbatas,” jelas Sya’roni.

Karena itu, lanjut Sya’roni, asosiasi mendorong pembentukan sebuah kerjasama membangun kapasitas bersama guna menampung risiko-risiko bernilai tinggi, utamanya yang berasal dari pembiayaan melalui perbankan syariah.

Permasalahan selanjutnya yang dipaparkan Sya’roni adalah terkait dengan inovasi produk. Karena menurut Sya’roni, saat ini konsumen asuransi syariah masih menghadapi kendala terkait ketersediaan dan keragaman produk yang dibutuhkan masyarakat.

“Ke depan asosiasi mendorong produk standar asuransi syariah untuk dipasarkan oleh pelaku industri, sebagai pemicu dan pemacu terbitnya produk-produk baru dari masing-masing pelaku yang lebih kreatif dan inovatif,” demikian ungkap Sya’roni.

Didalam acara ini, Sya’roni juga mengupas tentang pentingnya penggunaan teknologi di industri asuransi syariah di Indonesia.

“Penggunaan teknologi di bidang keuangan (fintech) saat ini sedang berkembang pesat dan akan merambah Asuransi Syariah,” ujar Sya’roni.

Karena itu, lanjut Sya’roni, pihaknya mengharapkan adanya fatwa khusus mengenai hal ini di asuransi syariah, dengan mempertimbangkan antara lain; khilafiyah terkait transaksi fintech, KYC (prinsip mengenal nasabah), serta prinsip uberrima vidae (itikad paling baik) di asuransi yang mengharuskan nasabah melakukan full disclosure atas obyek yang diasuransikan.